61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lupa akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.(QS. 18:61)
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Kahfi 61
فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا (61)
Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusa' sampai ke pertemuan dua laut, mereka berhenti. Tetapi tidak tahu bahwa tempat itulah yang harus dituju. Sebab Allah tidak memberi tahu dengan pasti tempat itu. Hanya saja Allah memberi petunjuk ketika ditanya oleh Nabi Musa sebelum berangkat, sebagaimana sabda Rasul saw ketika menceritakan pertanyaan Nabi Musa itu:
يا ربي كيف لي به؟ قال تأخذذ معك حوتا فتجعله بمكتل فحيثما فقدت الحوت فهو ثم
Artinya:
"Ya Tuhanku, bagaimana saya dapat menemukan tempat itu? Titah Allah: "Bawalah seekor ikan yang kamu masukkan pada sebuah kampil, manakala ikan itu hilang, di situlah tempatnya" (Tafsir Ibnu Kasir)
Pada sebuah batu besar di tempat itu, keduanya merasa mengantuk dan lelah.
Keduanyapun tertidur. Merekapun lalai akan ikannya. Maka ketika itu ikan yang ada di dalam kampil itu hidup kembali dan menggelepar-gelepar dan keluar dari kampil itu dengan meluncur menuju ke laut Padahal kampil waktu itu ada di tangan Yusa':
Kejadian di atas yaitu ikan mati menjadi hidup kembali, adalah merupakan mukjizat bagi Nabi Musa as. Setelah bangun tidur, mereka pun melanjutkan perjalanan. Yusa' pun lupa tidak menceritakan kepada Nabi Musa kejadian yang aneh tentang ikan yang sudah mati hidup kembali.
فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا (61)
Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusa' sampai ke pertemuan dua laut, mereka berhenti. Tetapi tidak tahu bahwa tempat itulah yang harus dituju. Sebab Allah tidak memberi tahu dengan pasti tempat itu. Hanya saja Allah memberi petunjuk ketika ditanya oleh Nabi Musa sebelum berangkat, sebagaimana sabda Rasul saw ketika menceritakan pertanyaan Nabi Musa itu:
يا ربي كيف لي به؟ قال تأخذذ معك حوتا فتجعله بمكتل فحيثما فقدت الحوت فهو ثم
Artinya:
"Ya Tuhanku, bagaimana saya dapat menemukan tempat itu? Titah Allah: "Bawalah seekor ikan yang kamu masukkan pada sebuah kampil, manakala ikan itu hilang, di situlah tempatnya" (Tafsir Ibnu Kasir)
Pada sebuah batu besar di tempat itu, keduanya merasa mengantuk dan lelah.
Keduanyapun tertidur. Merekapun lalai akan ikannya. Maka ketika itu ikan yang ada di dalam kampil itu hidup kembali dan menggelepar-gelepar dan keluar dari kampil itu dengan meluncur menuju ke laut Padahal kampil waktu itu ada di tangan Yusa':
Kejadian di atas yaitu ikan mati menjadi hidup kembali, adalah merupakan mukjizat bagi Nabi Musa as. Setelah bangun tidur, mereka pun melanjutkan perjalanan. Yusa' pun lupa tidak menceritakan kepada Nabi Musa kejadian yang aneh tentang ikan yang sudah mati hidup kembali.
62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya:` Bawalah ke mari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini `.(QS. 18:62)
Al Kahfi 62
فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62)
Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa keduanya terus melanjutkan perjalanannya siang dan malam. Nabi Musapun merasa lapar dan berkata kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.
Perasaan lapar dan penat setelah melampaui tempat pertemuan dua laut itu ternyata mengandung hikmah, yaitu mengundang ingatan Nabi Musa as kepada ikan yang mereka bawa.
Dalam ayat ini Allah mengungkapkan betapa luhurnya budi pekerti Musa as tentang sikapnya kepada muridnya. Bahwa apa yang dibawa oleh muridnya sebagai bekal itu adalah merupakan milik bersama, bukan hanya miliknya sendiri. Betapa pula halus perasaannya bahwa letih dan lapar itu tidak hanya dirinya. Beliau dapat merasakan apa yang menimpa orang lain.
63. Muridnya menjawab:` Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali. `(QS. 18:63)
قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (63)
Dalam ayat ini Yusa' menjawab secara jujur, bahwa ikan itu telah hidup kembali dan menggelepar-gelepar, lalu masuk ke laut dengan cara yang sangat mengherankan, ketika mereka beristirahat dan berlindung di batu tempat bertemunya dua laut. Tetapi dia lupa dan tidak menceritakan kepada Nabi Musa as. Kekhilafan ini bukan karena tidak bertanggung jawab, tetapi setanlah yang menyebabkannya.
64. Musa berkata: `Itulah (tempat) yang kita cari`. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.(QS. 18:64)
Al Kahfi 64
قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا (64)
Mendengar jawaban seperti tersebut di atas, dalam ayat ini Nabi Musa menyambutnya dengan gembira seraya berkata: Itulah tempat yang kita cari". Di tempat itu kitapun akan mendapatkan apa yang kita maksudkan, yaitu Nabi Khidir. Maka merekapun kembali mengikuti jejak semula, untuk mendapatkan batu yang mereka jadikan tempat berlindung. Menurut Al Baqa'i bahwa firman Allah dalam ayat ini menunjukkan bahwa mereka itu berjalan di padang pasir, sehingga tidak ada tanda-tanda, akan tetapi ada jejak mereka. Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dalam firman Allah tentang pertemuan dua laut itu ialah pertemuan air tawar (sungai Nil) dengan air asin (Laut Tengah) yaitu di Dimyat atau Rasyid di negeri Mesir.
65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.(QS. 18:65)
Surah Al Kahfi 65
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (65)
Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusa' menyusuri kembali jalan yang mereka lalui tadi sampailah keduanya pada batu itu yang pernah mereka jadikan tempat beristirahat. Di sana mereka mendapatkan seorang hamba di antara hamba-hamba Allah ialah Al Khidir yang berselimut dengan kain putih bersih. Menurut Said bin Jubair, kain putih itu menutupi leher sampai dengan kakinya.
Dalam ayat ini Allah SWT juga menyebutkan bahwa Al Khidir itu ialah orang yang mendapat ilmu langsung dari Allah, yang ilmu itu tidak diberikan kepada Nabi Musa. Sebagaimana juga Allah telah menganugerahkan suatu ilmu kepada Nabi Musa yang tidak diberikan kepada Al Khidir.
Menurut Hujjatul Islam Al Ghazali bahwa pada garis besarnya, seseorang mendapat ilmu itu ada dengan dua cara:
1. Proses pengajaran dari manusia, disebut: At Ta'lim Al Insani, yang dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Belajar kepada orang lain (di luar dirinya).
b. Self study dengan menggunakan kemampuan akal pikirannya sendiri.
2. Pengajaran yang langsung diberikan Allah kepada seseorang yang disebut At Ta'lim Ar Rabbani. Ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Diberi dengan cara wahyu, yang ilmunya disebut: ilmu Al Anbiya (Ilmu Para Nabi) dan ini khusus untuk para nabi.
b Diberikan dengan cara ilham yang ilmunya disebut Ilmu ladunny (ilmu dari sisi Tuhan). Ilmu ladunny ini diperoleh dengan cara langsung dari Tuhan tanpa perantara. Kejadiannya dapat diumpamakan seperti sinar dari suatu lampu gaib yang sinar itu langsung mengenai hati yang suci bersih, kosong lagi lembut. Ilham ini merupakan perhiasan yang diberikan Allah kepada para kekasih Nya (para wali).
66. Musa berkata kepada Khidhr:` Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? `(QS. 18:66)
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66)
Dalam ayat ini Allah menyatakan maksud Nabi Musa as datang kepada Al Khidir, yaitu untuk berguru kepadanya. Nabi Musa memberi salam kepada Al Khidir berkata kepadanya: "Saya adalah Musa". Al Khidir bertanya: "Musa dari Bani Israel?" Musa menjawab: "Ya, benar! Maka Al Khidir memberi hormat kepadanya seraya berkata: "Apa keperluanmu datang kemari?" Nabi Musa menjawab, bahwa beliau datang kepadanya supaya diperkenankan mengikutinya dengan maksud supaya Al Khidir mau mengajarkan kepadanya sebagian ilmu yang telah Allah ajarkan kepada Al Khidir itu, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.
Dalam ayat ini Allah menggambarkan secara jelas sikap Nabi Musa sebagai calon murid kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan itu berarti Nabi Musa sangat menjaga kesopanan dan mohon diperkenankan mengikutinya, supaya Al Khidir sudi mengajarkan sebagian ilmu yang telah Allah berikan kepadanya.
Sikap yang demikian menurut Al Qadi, memang seharusnya dimiliki oleh setiap pelajar dalam mengajukan pertanyaan kepada gurunya.
67. Dia menjawab:` Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.(QS. 18:67)
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (67)
Dalam ayat ini Al Khidir menjawab pertanyaan Nabi Musa sebagai berikut: "Hai Musa, kamu tak akan dapat sabar dalam menyertaiku. Karena saya memiliki ilmu yang telah diajarkan Allah kepadaku yang kamu tidak mengetahuinya, dan kamu memiliki ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu yang aku tidak mengetahuinya.
Kemampuan Al Khidir meramalkan sikap Nabi Musa kalau sampai menyertainya adalah berdasar ilmu ladunny yang telah beliau terima dari Tuhan di samping ilmu anbiya yang dimilikinya, seperti tersebut dalam ayat 65 di atas. Dan memang demikianlah sifat dan sikap Nabi Musa yang keras dalam menghadapi kenyataan-kenyataan yang bertentangan dengan syariat yang telah beliau terima dari Tuhan.
68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? `(QS. 18:68)
وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (68)
Dalam ayat ini Al Khidir menegaskan kepada Nabi Musa tentang sebab Nabi Musa tidak akan dapat bersabar nantinya kalau terus menerus menyertainya. Di sana Nabi Musa akan melihat kenyataan pekerjaan Al Khidir yang secara lahiriyah bertentangan dengan syariat Nabi Musa as. Oleh karena itu Al Khidir berkata kepada Nabi Musa: "Bagaimana kamu dapat bersabar terhadap perbuatan-perbuatan yang lahirnya menyalahi syariatmu, padahal kamu seorang Nabi. Atau mungkin juga kamu akan mendapati pekerjaan-pekerjaanku yang secara lahiriyah bersifat mungkar, sedang secara batiniyah kamu tidak mengetahui maksudnya atau kemaslahatannya."
Sebenarnya memang demikian sifat orang yang tidak bersabar terhadap perbuatan mungkar yang dilihatnya. Bahkan segera ia mengingkarinya.
69. Musa berkata:` Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun `.(QS. 18:69)
قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (69)
Dalam ayat ini Nabi Musa berjanji tidak akan mengingkari dan tidak akan menyalahi apa yang dikerjakan oleh Al Khidir, dan berjanji pula akan melaksanakan perintah Al Khidir selama perintah itu tidak bertentangan perintah Allah. Janji yang beliau ucapkan dalam ayat ini didasari dengan kata-kata "Insya Allah" karena beliau sadar bahwa sabar itu perkara yang sangat besar dan berat, apalagi ketika menyampaikan kemungkaran, seakan-akan panas hati beliau tak tertahan lagi.
70. Dia berkata:` Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu `.(QS. 18:70)
Al Kahfi 62
فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62)
Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa keduanya terus melanjutkan perjalanannya siang dan malam. Nabi Musapun merasa lapar dan berkata kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.
Perasaan lapar dan penat setelah melampaui tempat pertemuan dua laut itu ternyata mengandung hikmah, yaitu mengundang ingatan Nabi Musa as kepada ikan yang mereka bawa.
Dalam ayat ini Allah mengungkapkan betapa luhurnya budi pekerti Musa as tentang sikapnya kepada muridnya. Bahwa apa yang dibawa oleh muridnya sebagai bekal itu adalah merupakan milik bersama, bukan hanya miliknya sendiri. Betapa pula halus perasaannya bahwa letih dan lapar itu tidak hanya dirinya. Beliau dapat merasakan apa yang menimpa orang lain.
قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (63)
Dalam ayat ini Yusa' menjawab secara jujur, bahwa ikan itu telah hidup kembali dan menggelepar-gelepar, lalu masuk ke laut dengan cara yang sangat mengherankan, ketika mereka beristirahat dan berlindung di batu tempat bertemunya dua laut. Tetapi dia lupa dan tidak menceritakan kepada Nabi Musa as. Kekhilafan ini bukan karena tidak bertanggung jawab, tetapi setanlah yang menyebabkannya.
64. Musa berkata: `Itulah (tempat) yang kita cari`. Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.(QS. 18:64)
Al Kahfi 64
قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا (64)
Mendengar jawaban seperti tersebut di atas, dalam ayat ini Nabi Musa menyambutnya dengan gembira seraya berkata: Itulah tempat yang kita cari". Di tempat itu kitapun akan mendapatkan apa yang kita maksudkan, yaitu Nabi Khidir. Maka merekapun kembali mengikuti jejak semula, untuk mendapatkan batu yang mereka jadikan tempat berlindung. Menurut Al Baqa'i bahwa firman Allah dalam ayat ini menunjukkan bahwa mereka itu berjalan di padang pasir, sehingga tidak ada tanda-tanda, akan tetapi ada jejak mereka. Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dalam firman Allah tentang pertemuan dua laut itu ialah pertemuan air tawar (sungai Nil) dengan air asin (Laut Tengah) yaitu di Dimyat atau Rasyid di negeri Mesir.
65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.(QS. 18:65)
Surah Al Kahfi 65
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (65)
Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusa' menyusuri kembali jalan yang mereka lalui tadi sampailah keduanya pada batu itu yang pernah mereka jadikan tempat beristirahat. Di sana mereka mendapatkan seorang hamba di antara hamba-hamba Allah ialah Al Khidir yang berselimut dengan kain putih bersih. Menurut Said bin Jubair, kain putih itu menutupi leher sampai dengan kakinya.
Dalam ayat ini Allah SWT juga menyebutkan bahwa Al Khidir itu ialah orang yang mendapat ilmu langsung dari Allah, yang ilmu itu tidak diberikan kepada Nabi Musa. Sebagaimana juga Allah telah menganugerahkan suatu ilmu kepada Nabi Musa yang tidak diberikan kepada Al Khidir.
Menurut Hujjatul Islam Al Ghazali bahwa pada garis besarnya, seseorang mendapat ilmu itu ada dengan dua cara:
1. Proses pengajaran dari manusia, disebut: At Ta'lim Al Insani, yang dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Belajar kepada orang lain (di luar dirinya).
b. Self study dengan menggunakan kemampuan akal pikirannya sendiri.
2. Pengajaran yang langsung diberikan Allah kepada seseorang yang disebut At Ta'lim Ar Rabbani. Ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Diberi dengan cara wahyu, yang ilmunya disebut: ilmu Al Anbiya (Ilmu Para Nabi) dan ini khusus untuk para nabi.
b Diberikan dengan cara ilham yang ilmunya disebut Ilmu ladunny (ilmu dari sisi Tuhan). Ilmu ladunny ini diperoleh dengan cara langsung dari Tuhan tanpa perantara. Kejadiannya dapat diumpamakan seperti sinar dari suatu lampu gaib yang sinar itu langsung mengenai hati yang suci bersih, kosong lagi lembut. Ilham ini merupakan perhiasan yang diberikan Allah kepada para kekasih Nya (para wali).
66. Musa berkata kepada Khidhr:` Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? `(QS. 18:66)
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66)
Dalam ayat ini Allah menyatakan maksud Nabi Musa as datang kepada Al Khidir, yaitu untuk berguru kepadanya. Nabi Musa memberi salam kepada Al Khidir berkata kepadanya: "Saya adalah Musa". Al Khidir bertanya: "Musa dari Bani Israel?" Musa menjawab: "Ya, benar! Maka Al Khidir memberi hormat kepadanya seraya berkata: "Apa keperluanmu datang kemari?" Nabi Musa menjawab, bahwa beliau datang kepadanya supaya diperkenankan mengikutinya dengan maksud supaya Al Khidir mau mengajarkan kepadanya sebagian ilmu yang telah Allah ajarkan kepada Al Khidir itu, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.
Dalam ayat ini Allah menggambarkan secara jelas sikap Nabi Musa sebagai calon murid kepada calon gurunya dengan mengajukan permintaan berupa bentuk pertanyaan itu berarti Nabi Musa sangat menjaga kesopanan dan mohon diperkenankan mengikutinya, supaya Al Khidir sudi mengajarkan sebagian ilmu yang telah Allah berikan kepadanya.
Sikap yang demikian menurut Al Qadi, memang seharusnya dimiliki oleh setiap pelajar dalam mengajukan pertanyaan kepada gurunya.
67. Dia menjawab:` Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.(QS. 18:67)
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (67)
Dalam ayat ini Al Khidir menjawab pertanyaan Nabi Musa sebagai berikut: "Hai Musa, kamu tak akan dapat sabar dalam menyertaiku. Karena saya memiliki ilmu yang telah diajarkan Allah kepadaku yang kamu tidak mengetahuinya, dan kamu memiliki ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu yang aku tidak mengetahuinya.
Kemampuan Al Khidir meramalkan sikap Nabi Musa kalau sampai menyertainya adalah berdasar ilmu ladunny yang telah beliau terima dari Tuhan di samping ilmu anbiya yang dimilikinya, seperti tersebut dalam ayat 65 di atas. Dan memang demikianlah sifat dan sikap Nabi Musa yang keras dalam menghadapi kenyataan-kenyataan yang bertentangan dengan syariat yang telah beliau terima dari Tuhan.
68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? `(QS. 18:68)
وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (68)
Dalam ayat ini Al Khidir menegaskan kepada Nabi Musa tentang sebab Nabi Musa tidak akan dapat bersabar nantinya kalau terus menerus menyertainya. Di sana Nabi Musa akan melihat kenyataan pekerjaan Al Khidir yang secara lahiriyah bertentangan dengan syariat Nabi Musa as. Oleh karena itu Al Khidir berkata kepada Nabi Musa: "Bagaimana kamu dapat bersabar terhadap perbuatan-perbuatan yang lahirnya menyalahi syariatmu, padahal kamu seorang Nabi. Atau mungkin juga kamu akan mendapati pekerjaan-pekerjaanku yang secara lahiriyah bersifat mungkar, sedang secara batiniyah kamu tidak mengetahui maksudnya atau kemaslahatannya."
Sebenarnya memang demikian sifat orang yang tidak bersabar terhadap perbuatan mungkar yang dilihatnya. Bahkan segera ia mengingkarinya.
69. Musa berkata:` Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun `.(QS. 18:69)
قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (69)
Dalam ayat ini Nabi Musa berjanji tidak akan mengingkari dan tidak akan menyalahi apa yang dikerjakan oleh Al Khidir, dan berjanji pula akan melaksanakan perintah Al Khidir selama perintah itu tidak bertentangan perintah Allah. Janji yang beliau ucapkan dalam ayat ini didasari dengan kata-kata "Insya Allah" karena beliau sadar bahwa sabar itu perkara yang sangat besar dan berat, apalagi ketika menyampaikan kemungkaran, seakan-akan panas hati beliau tak tertahan lagi.
قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (70)
Dalam ayat ini Al Khidir dapat menerima Musa as dengan pesan: "Jika kamu (Nabi Musa) berjalan bersamaku (Al Khidir) maka janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang aku lakukan dan tentang rahasianya, sehingga aku sendiri menerangkan kepadamu duduk persoalannya. Jangan kamu menegurku terhadap sesuatu perbuatan itu yang tidak dapat kau benarkan hingga aku sendiri yang mulai menyebutnya untuk menerangkan keadaan yang sebenarnya.
Nabi Musa mau menerima syarat itu, memang sebenarnya sikap Nabi Musa yang demikian itu merupakan tata sopan seseorang, yang terpelajar terhadap cendekiawan, sikap tata sopan murid dengan gurunya atau sikap pengikut dengan yang diikutinya. Sebab kadang-kadang rahasia guru atau orang yang diikuti belum tentu dipahami oleh murid atau pengikutnya ketika itu juga, tetapi baru dapat dipahami kelak di kemudiannya.
71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melubanginya. Musa berkata:` Mengapa kamu melubangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? `Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.(QS. 18:71)
فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا إِمْرًا (71)
Dalam ayat ini Allah mengisahkan, bahwa keduanya (Nabi Musa dan Al Khidir) telah berjalan di tepi pantai untuk mencari sebuah kapal, dan kemudian mendapatkannya. Maka keduanya menaiki kapal itu dengan tidak membayar upahnya, karena para awak kapal sudah mengenal Al Khidir dan pembebasan upah itu sebagai penghormatan kepadanya.
Maka ketika kapal itu sedang melaju di laut dalam tiba-tiba Al Khidir mengambil kampak lalu melubangi dan merusakkan sekeping papan dinding. Melihat kejadian seperti itu dengan serta merta Nabi Musa berkata kepada Al Khidir: "Mengapa kamu lubangi perahu itu? Yang akibatnya dapat menenggelamkan seluruh penumpangnya yang tidak berdosa? Sungguh kamu telah mendatangkan kerusakan yang dan tidak mensyukuri kebaikan hati para awak kapal yang telah mendatangkan kerusakan yang besar dan tidak mensyukuri kebaikan hati para awak kapal yang telah membebaskan dari sewaan kapal." Kemudian Nabi Musa mengambil kainnya untuk menyumbat lubang itu.
72. Dia (Khidhr) berkata:` Bukankah aku telah berkata: `Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku`.(QS. 18:72)
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (72)
Dalam ayat ini Al Khidir mengingatkan kepada Musa tentang persyaratan yang harus dipenuhinya, kalau beliau menyertai Al Khidir dalam perjalanan, dan mengingatkan pula bahwa Nabi Musa takkan sanggup bersabar atas perbuatan-perbuatan yang dikerjakan Al Khidir, bahkan dia akan melawan dan menamakan perbuatan-perbuatan yang dikerjakan Al Khidir itu sebagai kesalahan yang besar. Karena Nabi Musa tidak memiliki pengetahuan untuk mengetahui rahasia apa yang terkandung pada perbuatan-perbuatan itu. Maka Al Khidir berkata kepada Nabi Musa: "Bukankah telah kukatakan bahwasanya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersamaku?
73. Musa berkata: `Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku`.(QS. 18:73)
قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْرًا (73)
Dalam ayat ini Nabi Musa insaf dan mengetahui kealpaannya atas janjinya. Oleh karena itu dia meminta kepada Al Khidir janganlah kamu menghukum aku karena kealpaanku, dan jangan pula kamu memberatkan aku dengan pekerjaan yang sukar aku lakukan. Berilah aku kesempatan mengikutimu supaya aku memperoleh ilmu darimu, dan maafkanlah kesalahanku itu.
74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang pemuda, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: `Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang munkar`.(QS. 18:74)
فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا لَقِيَا غُلَامًا فَقَتَلَهُ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَقَدْ جِئْتَ شَيْئًا نُكْرًا (74)
Dalam ayat ini Allah mengisahkan bahwa keduanya selamat mendarat dan tidak tenggelam, kemudian keduanya turun dari kapal dan meneruskan perjalanan menyusuri pantai. Maka terlihat oleh Al Khidir seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannya. Maka dibunuhnya anak itu. Ada yang mengatakan bahwa Al Khidir itu membunuhnya dengan cara memenggal kepalanya, ada yang mengatakan dicekik dengan tangannya. Tetapi Alquran tidak menyebutkan dengan cara bagaimana Al Khidir membunuh anak itu. Apakah dengan memenggal kepalanya, atau membenturkan kepalanya kepada dinding batu atau cara lain, tidak perlu kita memperhatikan atau menyelidikinya.
Melihat peristiwa itu dengan serta merta Nabi Musa berkata kepada Al Khidir: "Mengapa kamu bunuh jiwa yang masih suci dari dosa dan tidak pula karena dia membunuh orang lain? Sungguh kamu telah berbuat sesuatu yang mungkar yang bertentangan dengan akal yang sehat.
Dalam ayat ini pembunuhan disebut dengan kata "nukra" (mungkar). Sedang melubangi perahu dalam ayat 71 disebut kata "Imra" (kesalahan yang besar). Karena pembunuhan terhadap anak itu lebih keji dibanding dengan melubangi perahu. Sebab melubangi perahu itu tidak menghancurkan jiwa apabila itu tidak tenggelam. Tetapi pembunuhan atau mencabut nyawa yang tidak sejalan dengan ajaran agama itu nyata-nyata suatu perbuatan mungkar.
Adapun pembunuhan yang dapat dibenarkan oleh ajaran agama antara lain karena murtad, zina muhsan atau karena kisas.
75. Khidhr berkata: `Bukankah sudah ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?`(QS. 18:75)
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (75)
Khidir berkata kepada Musa as: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar untuk mempelajari ilmu hakikat bersamaku". Memang sudah terjadi dua kali Musa membantah dan tidak menyetujui perbuatan KHIDIR, padahal Musa telah berjanji tidak akan mengadakan sangkalan apa-apa terhadap apa yang dibuat oleh Nabi Khidir. Peringatan Khidir kepada Musa itu adalah peringatan yang terakhir.
76. Musa berkata: `Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku`.(QS. 18:76)
قَالَ إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلَا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا (76)
Musa berkata: "Kalau sekiranya aku bertanya lagi kepadamu tentang suatu perbuatanmu yang aneh-aneh itu yang telah aku saksikan karena aku ingin mengetahui hikmahnya bukan untuk sekadar bertanya saja, maka jika aku bertanya lagi sesudah kali ini, maka janganlah kamu mengizinkan aku lagi, karena kamu sudah cukup memberikan maaf kepadaku. Inilah kata-kata Musa yang penuh dengan penyesalan yang terpaksa beliau mengakuinya dan menginsafinya.
Diriwayatkan dalam suatu hadis yang sahih bahwa Nabi Muhammad saw bersabda tentang keadaan Nabi Musa itu sebagai berikut: Semoga Allah memberi rahmat kepada kita dan kepada Musa. Seandainya beliau sabar, tentu beliau banyak menyaksikan keajaiban tentang ilmu hakikat, akan tetapi karena beliau merasa malu untuk menghadapi celaan lagi maka beliau berkata: "Kalau sekiranya aku bertanya lagi kepadamu tentang sesuatu sesudah kali ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya kamu sudah cukup memberi maaf kepadaku".
77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu xxx penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: `Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu`.(QS. 18:77)
فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا (77)
Lalu Musa dan Khidir berjalan lagi hingga mereka berdua sampai kepada suatu negeri. Mereka minta agar penduduk negeri itu menjamunya tetapi penduduk negeri itu sangat kikir tidak mau memberi jamuan kepada mereka. Penduduk negeri itu sangat rendah akhlaknya, sebab menurut kebiasaan-kebiasaan orang Arab, bilamana ada seorang hartawan tidak mau memberi derma kepada seorang yang minta-minta, maka hal seperti itu sangat dicela dan jika ia menolak untuk memberi jamuan kepada tamunya maka hal itu termasuk suatu kemerosotan akhlak yang rendah sekali. Dalam hal ini orang-orang Arab menyatakan celaannya yang sangat keras, sering-sering bersemboyan dengan kata kata. Si polan menolak tamu (mengusir) dari rumahnya. Qatadah berkata: "Sejelek-jelek negeri yang penduduknya tidak suka menerima tamu dan tidak mau mengakui hak Ibnu Sabil" (orang yang dalam perjalanan kehabisan bekal). Di negeri itu Musa dan Khidir mendapatkan sebuah dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidir mengusap dengan tangannya, sehingga dinding itu tegak menjadi lurus kembali. Keanehan itu termasuk mukjizatnya. Musa yang melihat dinding itu ditegakkan kembali oleh Khidir tanpa mengambil upah apa-apa, ingin mengusulkan kepada Khidir supaya menerima bayaran atas jasanya menegakkan dinding itu, yang dengan bayaran itu ia dapat membeli makanan dan minuman yang sangat diperlukannya.
78. Khidhr berkata: `Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.(QS. 18:78)
قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (78)
Khidir berkata kepada Musa: "Pertanyaanmu yang ketiga kalinya ini adalah sebab perpisahan antara aku dan kamu". Sebagian Ulama Tafsir mengatakan bahwa sebab perpisahan itu tidak terjadi setelah pertanyaan yang pertama dan kedua, oleh karena pertanyaan pertama dan kedua itu pada akhirnya adalah perbuatan yang mungkar yaitu membunuh anak yang tidak berdosa dan membuat lubang (merusak) pada dinding kapal maka wajarlah bila dimaafkan. Adapun pertanyaan yang ketiga adalah Khidir berbuat baik kepada orang yang kikir, yang tidak mau memberi jamuan kepadanya, dan perbuatan itu adalah perbuatan yang baik yang tidak perlu disangkal.
Khidir berkata: "Aku akan memberitahukan kepadamu hikmah-hikmah perbuatanku, yang kamu tidak sabar terhadapnya, yaitu: membunuh anak, melubangi kapal dan menegakkan dinding rumah. Tujuannya ialah untuk menyelamatkan kapal dari penyitaan orang yang lalim, menyelamatkan ibu bapak anak yang dibunuh itu dari kekafiran andaikata ia hidup dan menggantinya dengan adiknya yang saleh serta menyelamatkan harta pusaka kepunyaan dua anak yatim yang berada di bawah dinding yang akan roboh itu.
79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.(QS. 18:79)
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (79)
Khidir menerangkan sebab ia mengerjakan tindakan-tindakan yang telah dilakukannya. Adapun perbuatan terhadap bahtera yang dilubangi dindingnya itu ialah bahtera itu adalah kepunyaan suatu kaum yang lemah dan miskin. Mereka tidak mampu menolak kelaliman raja yang akan merampas bahteranya itu, dan mereka mempergunakan bahtera itu untuk menambah penghasilannya dengan mengangkut barang-barang dagangan atau menyewakannya pada orang-orang lain. Dan aku sengaja merusak bahtera itu dengan jalan melubanginya karena di hadapannya ada seorang raja lalim yang suka merampas dan menyita setiap bahtera yang utuh dan tidak mau mengambil bahtera yang rusak, sehingga karena adanya kerusakan tersebut bahtera itu akan selamat.
80. Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.(QS. 18:80)
وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80)
Adapun anak yang dibunuh itu, adalah anak yang kafir sedangkan kedua orang tuanya termasuk orang-orang yang sungguh-sungguh beriman. Maka kami khawatir bahwa karena kecintaan kedua orang tuanya kepada anak itu akan tertarik keduanya kepada kekafiran. Qatadah berkata "Telah gembiralah kedua orang tuanya ketika anak itu dilahirkan, dan telah bersedih pula keduanya ketika anak itu terbunuh. Dan seandainya dia masih tetap hidup akan mengakibatkan kebinasaan pada kedua orang tuanya. Oleh sebab itu hendaklah setiap orang menerima ketentuan Allah dengan senang hati karena ketentuan Allah bagi seorang mukmin dalam hal yang tidak disukainya adalah lebih baik dari pada ketentuan Allah terhadapnya dalam hal-hal yang disukainya. Dan tersebut dalam sebuah hadis yang dikutip dan Kitab Tafsir Al Maragi jilid VI halaman 8 sebagai berikut:
لا يقضي الله لمؤمن قضاء إلا كان خيرا له
Artinya:
Allah tidak menerapkan kepada seorang mukmin dengan suatu ketetapan, melainkan ketetapan itu adalah lebih baik baginya.
Sesuai pula dengan firman Allah SWT:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al Baqarah: 216)
Khidir berkata: "Kami telah mengetahui, bahwa anak itu jika sudah dewasa, akan mengajak ibu bapaknya kepada kekafiran dan mereka berdua akan mengikuti ajakannya karena sangat cinta kepada anaknya."
Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Kahfi 80
وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80)
(Adapun anak muda itu, kedua orang tuanya adalah orang-orang Mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran), karena sesungguhnya sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadis sahih Muslim, bahwa anak muda itu telah dicap oleh Allah menjadi orang kafir. Dan seandainya ia hidup niscaya dia akan mendorong kedua orang tuanya kepada kekafiran, disebabkan kecintaan keduanya kepadanya, hingga keduanya pasti akan mengikuti jejak anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar