Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(QS. 30:21)
Surah Ar Ruum 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (21)
Manusia mengetahui bahwa mereka mempunyai perasaan-perasaan tertentu terhadap jenis yang lain. Perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran itu ditimbulkan oleh daya tarik yang ada pada masing-masing mereka, yang menjadikan yang satu tertarik kepada yang lain, sehingga antara kedua jenis pria dan wanita itu terjalin hubungan yang wajar. Mereka melangkah maju dan bergiat agar perasaan-perasaan itu dan kecenderungan-kecenderungan antara laki-laki dan wanita itu tercapai. Puncak dari semuanya itu ialah terjadinya perkaw nan antara laki-laki dan perempuan itu. Dalam keadaan demikian bagi laki-laki hanya istrinya itulah wanita yang paling cantik dan baik, sedang bagi wanita itu, hanya suaminyalah laki-laki yang menarik hatinya. Masing-masing mereka merasa tenteram hatinya dengan ada pihak yang lain itu. Semuanya ini merupakan modal yang paling berharga dalam membina rumah tangga bahagia. Kemudian dengan adanya rumah tangga yang berbahagia jiwa dan pikiran menjadi tenteram, tubuh dan hati mereka menjadi tenang serta kehidupan dan penghidupan menjadi mantap, kegairahan hidup akan timbul, dan ketenteraman bagi laki-laki dan wanita secara menyeluruh akan tercapai. Khusus mengenai kata-kata "mawaddah" (rasa kasih) dan "rahmah" (sayang), Mujahid dan Ikrimah berpendapat bahwa yang pertama adalah sebagai ganti dari kata "nikah" (bersetubuh, bersenggama) dan yang kedua sebagai kata ganti "anak". Jadi menurut Mujahid dan Ikrimah, maksud perkataan Tuhan: "Bahwa Dia menjadikan antara suami dan istri rasa kasih sayang ialah adanya perkawinan sebagai yang disyariatkan Tuhan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dari jenisnya sendiri, yaitu jenis manusia, akan terjadilah persenggamaan yang menyebabkan adanya anak-anak dan keturunan. Persenggamaan adalah merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia, sebegaimana adanya anak-anak adalah merupakan suatu keharusan yang umum pula. Ada yang berpendapat bahwa: "mawaddah" bagi anak muda, dan "rahmah" bagi orang tua. Sehubungan dengan mawaddah itu Allah mengutuk kaum Lut yang melampiaskan nafsunya dengan melakukan homosex, dan meninggalkan istri-istri mereka yang seharusnya kepada istri-istri itulah mereka melimpahkan rasa kasih sayang dan dengan merekalah seharusnya bersenggama. Allah SWT berfirman:
وتذرون ما خلق لكم ربكم من أزواجكم
Artinya:
Dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu. (Q.S. Asy syu'ara: 166)
Dalam ayat ini Allah memberi tahukan kepada kaum laki-laki bahwa "tempat tertentu" itu ada pada perempuan dijadikan untuk laki-laki. Dalam hadis diterangkan bahwa para istri wajib melayani ajakan suaminya, kapan saja dikehendaki oleh sang suami. Jika ia menolak ajakan itu sedang dia dalam keadaan tidak terlarang, ia termasuk orang yang zalim dan berdosa besar. Nabi saw bersabda:
والذي نفسي بيده ما من رجل يدعو امرأته إلى فراشها فتأبى عليه إلا كان الذي في السماء ساخط عليها حتى يرضى عنها. وفي لفظ آخر: إذا باتت المرأة هاجر فراش زوجها لعنتها الملائكة حتى تصبح.
Artinya:
Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seseorang lelakipun yang mengajak istrinya untuk bercampur, tetapi ia (istri) enggan, kecuali yang ada di langit akan marah kepada istri itu, sampai suaminya rida kepadanya". Dalam lafal yang lain, hadis ini berbunyi: "Apabila istri tidur meninggalkan ranjang suaminya maka malaikat-malaikat akan melaknatinya hingga ia bangun di pagi hari". (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
Dalam ayat ini Allah SWT pada ayat-ayat yang lain menetapkan ketentuan-ketentuan hidup suami istri, untuk mencapai kebahagiaan hidup dan agar ketenteraman jiwa serta kerukunan hidup berumah tangga tercapai. Apabila hal itu belum tercapai, maka mereka semestinya mengadakan introspeksi terhadap diri mereka sendiri, meneliti apa yang belum dapat mereka lakukan serta kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat, kemudian menetapkan cara yang paling baik sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tujuan perkawinan yang diharapkan itu tercapai, yaitu ketenangan, saling mencintai dan kasih sayang.
Demikianlah agungnya perkawinan itu, dan rasa kasih sayang ditimbulkannya, sehingga ayat ini ditutup dengan menyatakan bahwa semuanya itu terdapat tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT bagi orang-orang yang mau menggunakan pikirannya.
Tetapi sayang, sedikit sekali manusia yang mau mengingat kekuasaan Allah yang menciptakan istri-istri bagi mereka dari jenis-jenis mereka sendiri (jenis manusia) dan menanamkan rasa cinta dan kasih sayang dalam jiwa mereka.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (21)
Manusia mengetahui bahwa mereka mempunyai perasaan-perasaan tertentu terhadap jenis yang lain. Perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran itu ditimbulkan oleh daya tarik yang ada pada masing-masing mereka, yang menjadikan yang satu tertarik kepada yang lain, sehingga antara kedua jenis pria dan wanita itu terjalin hubungan yang wajar. Mereka melangkah maju dan bergiat agar perasaan-perasaan itu dan kecenderungan-kecenderungan antara laki-laki dan wanita itu tercapai. Puncak dari semuanya itu ialah terjadinya perkaw nan antara laki-laki dan perempuan itu. Dalam keadaan demikian bagi laki-laki hanya istrinya itulah wanita yang paling cantik dan baik, sedang bagi wanita itu, hanya suaminyalah laki-laki yang menarik hatinya. Masing-masing mereka merasa tenteram hatinya dengan ada pihak yang lain itu. Semuanya ini merupakan modal yang paling berharga dalam membina rumah tangga bahagia. Kemudian dengan adanya rumah tangga yang berbahagia jiwa dan pikiran menjadi tenteram, tubuh dan hati mereka menjadi tenang serta kehidupan dan penghidupan menjadi mantap, kegairahan hidup akan timbul, dan ketenteraman bagi laki-laki dan wanita secara menyeluruh akan tercapai. Khusus mengenai kata-kata "mawaddah" (rasa kasih) dan "rahmah" (sayang), Mujahid dan Ikrimah berpendapat bahwa yang pertama adalah sebagai ganti dari kata "nikah" (bersetubuh, bersenggama) dan yang kedua sebagai kata ganti "anak". Jadi menurut Mujahid dan Ikrimah, maksud perkataan Tuhan: "Bahwa Dia menjadikan antara suami dan istri rasa kasih sayang ialah adanya perkawinan sebagai yang disyariatkan Tuhan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dari jenisnya sendiri, yaitu jenis manusia, akan terjadilah persenggamaan yang menyebabkan adanya anak-anak dan keturunan. Persenggamaan adalah merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia, sebegaimana adanya anak-anak adalah merupakan suatu keharusan yang umum pula. Ada yang berpendapat bahwa: "mawaddah" bagi anak muda, dan "rahmah" bagi orang tua. Sehubungan dengan mawaddah itu Allah mengutuk kaum Lut yang melampiaskan nafsunya dengan melakukan homosex, dan meninggalkan istri-istri mereka yang seharusnya kepada istri-istri itulah mereka melimpahkan rasa kasih sayang dan dengan merekalah seharusnya bersenggama. Allah SWT berfirman:
وتذرون ما خلق لكم ربكم من أزواجكم
Artinya:
Dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu. (Q.S. Asy syu'ara: 166)
Dalam ayat ini Allah memberi tahukan kepada kaum laki-laki bahwa "tempat tertentu" itu ada pada perempuan dijadikan untuk laki-laki. Dalam hadis diterangkan bahwa para istri wajib melayani ajakan suaminya, kapan saja dikehendaki oleh sang suami. Jika ia menolak ajakan itu sedang dia dalam keadaan tidak terlarang, ia termasuk orang yang zalim dan berdosa besar. Nabi saw bersabda:
والذي نفسي بيده ما من رجل يدعو امرأته إلى فراشها فتأبى عليه إلا كان الذي في السماء ساخط عليها حتى يرضى عنها. وفي لفظ آخر: إذا باتت المرأة هاجر فراش زوجها لعنتها الملائكة حتى تصبح.
Artinya:
Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seseorang lelakipun yang mengajak istrinya untuk bercampur, tetapi ia (istri) enggan, kecuali yang ada di langit akan marah kepada istri itu, sampai suaminya rida kepadanya". Dalam lafal yang lain, hadis ini berbunyi: "Apabila istri tidur meninggalkan ranjang suaminya maka malaikat-malaikat akan melaknatinya hingga ia bangun di pagi hari". (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
Dalam ayat ini Allah SWT pada ayat-ayat yang lain menetapkan ketentuan-ketentuan hidup suami istri, untuk mencapai kebahagiaan hidup dan agar ketenteraman jiwa serta kerukunan hidup berumah tangga tercapai. Apabila hal itu belum tercapai, maka mereka semestinya mengadakan introspeksi terhadap diri mereka sendiri, meneliti apa yang belum dapat mereka lakukan serta kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat, kemudian menetapkan cara yang paling baik sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tujuan perkawinan yang diharapkan itu tercapai, yaitu ketenangan, saling mencintai dan kasih sayang.
Demikianlah agungnya perkawinan itu, dan rasa kasih sayang ditimbulkannya, sehingga ayat ini ditutup dengan menyatakan bahwa semuanya itu terdapat tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT bagi orang-orang yang mau menggunakan pikirannya.
Tetapi sayang, sedikit sekali manusia yang mau mengingat kekuasaan Allah yang menciptakan istri-istri bagi mereka dari jenis-jenis mereka sendiri (jenis manusia) dan menanamkan rasa cinta dan kasih sayang dalam jiwa mereka.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.(QS. 30:22)
Surah Ar Ruum 22
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (22)
Ayat ini menerangkan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah yang lain, yaitu penciptaan langit dan bumi, sebagai peristiwa yang luar biasa besarnya, sangat teliti dan cermat. Orang tidak mengetahui rahasia kejadian itu, kecuali jumlah yang sangat sedikit sekali. Hanya sedikit sekali yang mengetahui bahwa di langit itu ada galaxi-galaxi yang tidak terbilang jumlahnya. Tiap-tiap galaxi itu mempunyai matahari, bumi, bulan dan bintang-bintang yang berjuta-juta jumlahnya. Bumi yang didiami manusia ini tak ubahnya seperti atom yang sangat kecil yang hampir saja tidak mempunyai berat dan bayangan, jika dibandingkan dengan semua galaxi tersebut. Sesungguhnya galaxi-galaxi (Galaxi bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia disebut Bimasakti dalam bahasa Arab Al Majarrah yaitu gugusan bintang yang beribu-ribu banyaknya, sehingga suatu gugusan itu kelihatan sebagai cahaya atau kabut putih di langit. Kata lain dalam bahasa Inggris Milky Way dalam bahasa Arab Darb At Tabbanah) itu banyak jumlahnya di angkasa luas, dan masing-masing galaxi itu merupakan sistim peredaran yang paling teratur, mereka tak pernah berantakan atau bertubrukan antara yang satu dengan yang lain, atau antara planet-planet yang ada pada masing-masing galaxi itu. Semuanya itu berjalan menurut aturan yang telah ditentukan.
Itu adalah dari segi jumlah besar, dan sistimnya. Adapun rahasia-rahasia benda-benda alam besar itu, tabiat-tabiatnya, apa yang tersembunyi dan yang nampak padanya, hukum-hukum alam yang menjaga, mengatur dan menjalankannya, hal itu amat banyak macam dan ragamnya dibanding dengan apa yang telah diketahui manusia. Apa yang telah diketahui manusia itu hanya sebagian kecil saja, walaupun para ahli itu telah menyelidiki keadaan alam semesta bertahun-tahun lamanya, dan mereka mengetahui bahwa semuanya itu telah berlangsung berjuta-juta tahun lamanya hukum-hukum alam, dengan amat teratur.
Di samping tanda-tanda kekusaan Allah berada di langit dan di bumi itu, terdapat pula pada yang lain, yaitu perbedaan bahasa yang digunakan oleh suku-suku dan bangsa-bangsa dari perbedaan warna kulit serta sifat-sifat kejiwaan mereka. Dengan adanya kenyataan itu, dihubungkan dengan kejadian langit dan bumi dengan segala isinya, tentu ada pula hubungan antara kedua hal tersebut. Perbedaan iklim-iklim di permukaan bumi itu, mempunyai hubungan yang erat dengan perbedaan bahasa dan warna kulit serta sifat-sifat kejiwaan manusia, walaupun asal dan pertumbuhannya satu, yaitu dari bani insan.
Para ahli ilmu pengetahuan zaman sekarang mengamati adanya perbedaan bahasa dan warna kulit serta sifat-sifat kejiwaan itu. Tapi sayang mereka tak menghubungkannya dengan kekuasaan Allah SWT, dan dengan tanda-tanda kebesaran-Nya. Mereka mengkaji kenyataan itu secara mendalam, tapi mereka tidak mengagungkan Pencipta dan Pengendalinya, baik mengenai segala yang lahir dan segala yang tersembunyi. Hal itu adalah karena kebanyakan manusia tidak mengetahui, seperti firman Tuhan:
يعلمون ظاهرا من الحياة الدنيا
Artinya:
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia. (Q.S. Ar Rum: 7)
Rahasia kejadian langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulit serta sifat-sifat kejiwaan manusia itu tidak akan di ketahui, kecuali oleh orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan. Karena itulah ayat ini ditutup dengan "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (berilmu pengetahuan)".
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (22)
Ayat ini menerangkan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah yang lain, yaitu penciptaan langit dan bumi, sebagai peristiwa yang luar biasa besarnya, sangat teliti dan cermat. Orang tidak mengetahui rahasia kejadian itu, kecuali jumlah yang sangat sedikit sekali. Hanya sedikit sekali yang mengetahui bahwa di langit itu ada galaxi-galaxi yang tidak terbilang jumlahnya. Tiap-tiap galaxi itu mempunyai matahari, bumi, bulan dan bintang-bintang yang berjuta-juta jumlahnya. Bumi yang didiami manusia ini tak ubahnya seperti atom yang sangat kecil yang hampir saja tidak mempunyai berat dan bayangan, jika dibandingkan dengan semua galaxi tersebut. Sesungguhnya galaxi-galaxi (Galaxi bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia disebut Bimasakti dalam bahasa Arab Al Majarrah yaitu gugusan bintang yang beribu-ribu banyaknya, sehingga suatu gugusan itu kelihatan sebagai cahaya atau kabut putih di langit. Kata lain dalam bahasa Inggris Milky Way dalam bahasa Arab Darb At Tabbanah) itu banyak jumlahnya di angkasa luas, dan masing-masing galaxi itu merupakan sistim peredaran yang paling teratur, mereka tak pernah berantakan atau bertubrukan antara yang satu dengan yang lain, atau antara planet-planet yang ada pada masing-masing galaxi itu. Semuanya itu berjalan menurut aturan yang telah ditentukan.
Itu adalah dari segi jumlah besar, dan sistimnya. Adapun rahasia-rahasia benda-benda alam besar itu, tabiat-tabiatnya, apa yang tersembunyi dan yang nampak padanya, hukum-hukum alam yang menjaga, mengatur dan menjalankannya, hal itu amat banyak macam dan ragamnya dibanding dengan apa yang telah diketahui manusia. Apa yang telah diketahui manusia itu hanya sebagian kecil saja, walaupun para ahli itu telah menyelidiki keadaan alam semesta bertahun-tahun lamanya, dan mereka mengetahui bahwa semuanya itu telah berlangsung berjuta-juta tahun lamanya hukum-hukum alam, dengan amat teratur.
Di samping tanda-tanda kekusaan Allah berada di langit dan di bumi itu, terdapat pula pada yang lain, yaitu perbedaan bahasa yang digunakan oleh suku-suku dan bangsa-bangsa dari perbedaan warna kulit serta sifat-sifat kejiwaan mereka. Dengan adanya kenyataan itu, dihubungkan dengan kejadian langit dan bumi dengan segala isinya, tentu ada pula hubungan antara kedua hal tersebut. Perbedaan iklim-iklim di permukaan bumi itu, mempunyai hubungan yang erat dengan perbedaan bahasa dan warna kulit serta sifat-sifat kejiwaan manusia, walaupun asal dan pertumbuhannya satu, yaitu dari bani insan.
Para ahli ilmu pengetahuan zaman sekarang mengamati adanya perbedaan bahasa dan warna kulit serta sifat-sifat kejiwaan itu. Tapi sayang mereka tak menghubungkannya dengan kekuasaan Allah SWT, dan dengan tanda-tanda kebesaran-Nya. Mereka mengkaji kenyataan itu secara mendalam, tapi mereka tidak mengagungkan Pencipta dan Pengendalinya, baik mengenai segala yang lahir dan segala yang tersembunyi. Hal itu adalah karena kebanyakan manusia tidak mengetahui, seperti firman Tuhan:
يعلمون ظاهرا من الحياة الدنيا
Artinya:
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia. (Q.S. Ar Rum: 7)
Rahasia kejadian langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulit serta sifat-sifat kejiwaan manusia itu tidak akan di ketahui, kecuali oleh orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan. Karena itulah ayat ini ditutup dengan "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (berilmu pengetahuan)".
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.(QS. 30:23)
Surah Ar Ruum 23
وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ (23)
Ayat ini masih membicarakan tentang tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, alam semesta dan hubungannya dengan keadaan manusia, pergantian siang dan malam, serta tidurnya manusia di malam hari dan bangunnya mencari rezki di siang hari. Manusia tidur di malam hari agar badannya mendapatkan ketenangan dan istirahat, untuk memulihkan tenaga-tenaga yang digunakan waktu bangunnya. Tidur dan bangun itu silih berganti dalam kehidupan manusia, seperti silih bergantinya siang dan malam di alam semesta ini. Dengan keadaan yang silih berganti itu seperti tidur dan bangun bagi manusia, dia akan mengetahui nikmat Allah serta kebaikan-Nya. Di waktu tidur manusia akan mendapatkan makanan yang baik bagi organ tubuhnya. Begitu juga dia akan mendapatkan di waktu bangun pergerakan anggota tubuhnya dengan leluasa.
Dalam ayat ini tidur didahulukan dari bangun, padahal kelihatannya bangun itu lebih penting dari pada tidur, karena di waktu bangun itu orang bekerja, berusaha dan melaksanakan tugas. Tugas dan kewajibannya dalam hidup, yang terkandung dalam perkataan-Nya, "dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya", agar nikmat tidur itu diperhatikan. Pada umumnya manusia itu sedikit sekali yang memperhatikannya. Tidur merupakan pengasingan manusia dari kesibukan-kesibukan hidup, dan terputusnya hubungan antara jiwanya dengan Zatnya sendiri, seakan-akan identitasnya hilang di waktu itu. Dari segi inilah kebanyakan manusia memandang tidur itu sebagai suatu hal yang tidak penting. Ini adalah pengertian yang sudah salah dalam memahami nikmat yang besar itu yang dianugeratikan Tuhan kepada manusia.
Dalam keadaan tidur dan dalam keadaan antara bangun dan tidur, manusia pergi kemana saja yang ia sukai dengan akal dan rohnya ke balik alam materi ini di sana tak ada belenggu dan halangan. Dan di sana dia dapat merealisir apa yang tak dapat direalisirnya di dalam dunia serba benda ini. Dalam alam mimpi itu dia akan mendapat kepuasan.
Berapa banyak orang yang miskin, tapi dalam mimpinya ia dapat memakan apa yang diingininya. Berapa banyak orang yang teraniaya tapi dalam mimpinya ia dapat mengobati jiwanya dari keganasan dan kelaliman. Berapa banyaknya orang-orang yang bercinta-cintaan serta berjauhan tempat tinggal, tetapi dalam mimpi mereka dapat berjumpa dengan sepuas hatinya. Dan banyak lagi contoh lain.
Menurut ahli ilmu jiwa, mimpi yang dialami dalam waktu tidur adalah sebagai penetralisir yakni pemurni dan penawar bagi jiwa. Bagi orang-orang yang sedang bercinta-cintaan umpamanya, mereka dapat mewujudkan apa yang diingininya atau dikhayalkannya di waktu bangun. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang teraniaya, orang yang lapar dan sebagainya. Dengan situasi itu jiwa akan lega dan tenteram. Kalau tidak demikian tentu akan terjadi ketegangan-ketegangan jiwa yang sangat berbahaya.
Jadi dalam dunia tidur manusia akan mendapat kepuasan akal, rohani dan jiwanya. Hal mana tak dapat diperolehnya di waktu bangun.
Apabila tubuh manusia memerlukan makan dan minum, maka roh, jiwa dan akalpun memerlukan makan dan minum. Makan dan minumnya itu dilakukannya di waktu tidur. Tidur itu tidak lain, melainkan belenggu dari tubuh tetapi kebebasan bagi jiwa. Dengan demikian segi kejiwaan mendapat kebahagiaannya di waktu tidur, bebas dari kebendaan, tekanan dan kelaliman. Kalau tidak demikian, roh itu akan selalu terbelenggu dalam tubuh dan cahayanya akan pudar.
Orang-orang yang menganggap enteng tidur, dan menganggapnya sebagai suatu kemestian yang berat yang diharuskan atas alat tubuh manusia; dan menganggapnya sebagai suatu obat yang diberikan kepada manusia, yang mencekam kepribadiannya, seperti pada masa kanak-kanak dan masa tua, maka anggapan mereka demikian itu adalah disebabkan mereka tidak mengetahui kecuali apa yang tidak dapat diraba oleh tangan mereka, atau dilihat oleh mata sendiri. Adapun yang di balik itu, mereka tidak mengetahui atau mempercayainya, atau karena mereka materialistis, yang hanya melihat kepada materi saja. Mereka bergaul dengan manusia hanyalah atas dasar materi.
Apabila tidur dianggap sebagai nikmat nyata, maka sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan malam sebagai waktu yang tepat untuk tidur. Tidur adalah nikmat yang jelas seperti terbaca dalam firman Tuhan:
قل أرأيتم إن جعل الله عليكم النهار سرمدا إلى يوم القيامة من إله غير الله يأتيكم بليل تسكنون فيه أفلا تبصرون
Artinya:
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan". (Q.S. Al Qasas: 72)
Malam itu tak ubahnya sebagai layar yang menutupi makhluk-makhluk hidup termasuk manusia. Lalu dia mengantarkan mereka kepada ketenangan, kemudian tidur.
Sesungguhnya malam itu merupakan kekuasaan yang memaksakan kehendaknya, sebagaimana siang yang juga merupakan kekuasaan yang memaksakan kehendaknya kepada semua makhluk hidup. Yang terdahulu untuk tidur, dan yang terakhir untuk bangun. Yang terdahulu adalah mati kecil, karena dalam waktu tidur itu Allah memegang jiwa manusia kemudian dilepaskannya di waktu dia bangun di siang hari, agar ia dapat bekerja, dan disempurnakannya ajalnya yang telah di tentukan-Nya. Tuhan berfirman:
وهو الذي يتوفاكم بالليل ويعلم ما جرحتم بالنهار ثم يبعثكم فيه ليقضى أجل مسمى ثم إليه مرجعكم
Artinya:
Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan (umurmu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali. (Q.S. Al An'am: 60)
Karena malam itu adalah waktu yang penting dan yang tepat untuk tidur, Allah SWT banyak sekali bersumpah dalam Alquran dengan malam itu. Dalam pada itu suatu surat Alquran bernama "Al Lail" (Malam), sebagai penghargaan bagi waktu malam itu. Dalam surat ini terdapat isyarat bahwa di kala malam itu datang, tertutuplah cahaya siang, dan terjadilah kegelapan dan keheningan yang merata. Waktu semacam itu sesuai betul untuk tidur, untuk saat beristirahatnya tubuh dan jiwa. Dan apabila siang datang maka terang benderanglah alam ini dan waktu semacam itu amat tepatlah untuk bekerja, berusaha dan berjuang. Tuhan berfirman:
والليل إذا يغشى والنهار إذا تجلى
Artinya:
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang. (Q.S. Al Lail: 1-2)
Dalam ayat yang lain Tuhan berfirman.
والشمس وضحاها والقمر إذا تلاها والنهار إذا جلاها والليل إذا يغشاها
Artinya:
Demi matahari dan cahaya di pagi hari dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya: (Q.S. Asy syams: 1-4)
Dalam ayat ini siang disamakan dengan malam, yakni dengan firman-Nya".. tidurmu di waktu malam dan siang hari yang demikian itu adalah sebagai penegasan bagi kenyataan bahwa malam itu, walaupun dia adalah waktu yang tepat untuk tidur, tetapi hal itu tidak melarang orang mempergunakan waktu siang untuk tidur. Manusia menurut umumnya memang tidur itu di waktu malam, tetapi tidak sedikit pula di antara mereka yang tidur di waktu siang, atau sebagian dari tidurnya dilaksanakan di siang hari. Karena itulah malam didahulukan menyebutkannya.
Kemudian ayat ini ditutup dengan ungkapan, "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan". Dalam ungkapan itu seruan ditujukan kepada pendengaran, bukan pancaindera yang lain. Hal ini merupakan suatu isyarat bahwa pendengaran itu mewujudkan pengetahuan dan memberikan pengertian bahwa tidur di malam dan siang hari. serta berusaha mencari karunia Tuhan adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Hanyalah orang yang mempunyai pendengaran yang tajam dan peka dan memperhatikan yang didengarnya itu, terutama sekali ayat-ayat Alquran yang dibacakan kepadanya.
وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ (23)
Ayat ini masih membicarakan tentang tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, alam semesta dan hubungannya dengan keadaan manusia, pergantian siang dan malam, serta tidurnya manusia di malam hari dan bangunnya mencari rezki di siang hari. Manusia tidur di malam hari agar badannya mendapatkan ketenangan dan istirahat, untuk memulihkan tenaga-tenaga yang digunakan waktu bangunnya. Tidur dan bangun itu silih berganti dalam kehidupan manusia, seperti silih bergantinya siang dan malam di alam semesta ini. Dengan keadaan yang silih berganti itu seperti tidur dan bangun bagi manusia, dia akan mengetahui nikmat Allah serta kebaikan-Nya. Di waktu tidur manusia akan mendapatkan makanan yang baik bagi organ tubuhnya. Begitu juga dia akan mendapatkan di waktu bangun pergerakan anggota tubuhnya dengan leluasa.
Dalam ayat ini tidur didahulukan dari bangun, padahal kelihatannya bangun itu lebih penting dari pada tidur, karena di waktu bangun itu orang bekerja, berusaha dan melaksanakan tugas. Tugas dan kewajibannya dalam hidup, yang terkandung dalam perkataan-Nya, "dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya", agar nikmat tidur itu diperhatikan. Pada umumnya manusia itu sedikit sekali yang memperhatikannya. Tidur merupakan pengasingan manusia dari kesibukan-kesibukan hidup, dan terputusnya hubungan antara jiwanya dengan Zatnya sendiri, seakan-akan identitasnya hilang di waktu itu. Dari segi inilah kebanyakan manusia memandang tidur itu sebagai suatu hal yang tidak penting. Ini adalah pengertian yang sudah salah dalam memahami nikmat yang besar itu yang dianugeratikan Tuhan kepada manusia.
Dalam keadaan tidur dan dalam keadaan antara bangun dan tidur, manusia pergi kemana saja yang ia sukai dengan akal dan rohnya ke balik alam materi ini di sana tak ada belenggu dan halangan. Dan di sana dia dapat merealisir apa yang tak dapat direalisirnya di dalam dunia serba benda ini. Dalam alam mimpi itu dia akan mendapat kepuasan.
Berapa banyak orang yang miskin, tapi dalam mimpinya ia dapat memakan apa yang diingininya. Berapa banyak orang yang teraniaya tapi dalam mimpinya ia dapat mengobati jiwanya dari keganasan dan kelaliman. Berapa banyaknya orang-orang yang bercinta-cintaan serta berjauhan tempat tinggal, tetapi dalam mimpi mereka dapat berjumpa dengan sepuas hatinya. Dan banyak lagi contoh lain.
Menurut ahli ilmu jiwa, mimpi yang dialami dalam waktu tidur adalah sebagai penetralisir yakni pemurni dan penawar bagi jiwa. Bagi orang-orang yang sedang bercinta-cintaan umpamanya, mereka dapat mewujudkan apa yang diingininya atau dikhayalkannya di waktu bangun. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang teraniaya, orang yang lapar dan sebagainya. Dengan situasi itu jiwa akan lega dan tenteram. Kalau tidak demikian tentu akan terjadi ketegangan-ketegangan jiwa yang sangat berbahaya.
Jadi dalam dunia tidur manusia akan mendapat kepuasan akal, rohani dan jiwanya. Hal mana tak dapat diperolehnya di waktu bangun.
Apabila tubuh manusia memerlukan makan dan minum, maka roh, jiwa dan akalpun memerlukan makan dan minum. Makan dan minumnya itu dilakukannya di waktu tidur. Tidur itu tidak lain, melainkan belenggu dari tubuh tetapi kebebasan bagi jiwa. Dengan demikian segi kejiwaan mendapat kebahagiaannya di waktu tidur, bebas dari kebendaan, tekanan dan kelaliman. Kalau tidak demikian, roh itu akan selalu terbelenggu dalam tubuh dan cahayanya akan pudar.
Orang-orang yang menganggap enteng tidur, dan menganggapnya sebagai suatu kemestian yang berat yang diharuskan atas alat tubuh manusia; dan menganggapnya sebagai suatu obat yang diberikan kepada manusia, yang mencekam kepribadiannya, seperti pada masa kanak-kanak dan masa tua, maka anggapan mereka demikian itu adalah disebabkan mereka tidak mengetahui kecuali apa yang tidak dapat diraba oleh tangan mereka, atau dilihat oleh mata sendiri. Adapun yang di balik itu, mereka tidak mengetahui atau mempercayainya, atau karena mereka materialistis, yang hanya melihat kepada materi saja. Mereka bergaul dengan manusia hanyalah atas dasar materi.
Apabila tidur dianggap sebagai nikmat nyata, maka sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan malam sebagai waktu yang tepat untuk tidur. Tidur adalah nikmat yang jelas seperti terbaca dalam firman Tuhan:
قل أرأيتم إن جعل الله عليكم النهار سرمدا إلى يوم القيامة من إله غير الله يأتيكم بليل تسكنون فيه أفلا تبصرون
Artinya:
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan". (Q.S. Al Qasas: 72)
Malam itu tak ubahnya sebagai layar yang menutupi makhluk-makhluk hidup termasuk manusia. Lalu dia mengantarkan mereka kepada ketenangan, kemudian tidur.
Sesungguhnya malam itu merupakan kekuasaan yang memaksakan kehendaknya, sebagaimana siang yang juga merupakan kekuasaan yang memaksakan kehendaknya kepada semua makhluk hidup. Yang terdahulu untuk tidur, dan yang terakhir untuk bangun. Yang terdahulu adalah mati kecil, karena dalam waktu tidur itu Allah memegang jiwa manusia kemudian dilepaskannya di waktu dia bangun di siang hari, agar ia dapat bekerja, dan disempurnakannya ajalnya yang telah di tentukan-Nya. Tuhan berfirman:
وهو الذي يتوفاكم بالليل ويعلم ما جرحتم بالنهار ثم يبعثكم فيه ليقضى أجل مسمى ثم إليه مرجعكم
Artinya:
Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan (umurmu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali. (Q.S. Al An'am: 60)
Karena malam itu adalah waktu yang penting dan yang tepat untuk tidur, Allah SWT banyak sekali bersumpah dalam Alquran dengan malam itu. Dalam pada itu suatu surat Alquran bernama "Al Lail" (Malam), sebagai penghargaan bagi waktu malam itu. Dalam surat ini terdapat isyarat bahwa di kala malam itu datang, tertutuplah cahaya siang, dan terjadilah kegelapan dan keheningan yang merata. Waktu semacam itu sesuai betul untuk tidur, untuk saat beristirahatnya tubuh dan jiwa. Dan apabila siang datang maka terang benderanglah alam ini dan waktu semacam itu amat tepatlah untuk bekerja, berusaha dan berjuang. Tuhan berfirman:
والليل إذا يغشى والنهار إذا تجلى
Artinya:
Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang. (Q.S. Al Lail: 1-2)
Dalam ayat yang lain Tuhan berfirman.
والشمس وضحاها والقمر إذا تلاها والنهار إذا جلاها والليل إذا يغشاها
Artinya:
Demi matahari dan cahaya di pagi hari dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya: (Q.S. Asy syams: 1-4)
Dalam ayat ini siang disamakan dengan malam, yakni dengan firman-Nya".. tidurmu di waktu malam dan siang hari yang demikian itu adalah sebagai penegasan bagi kenyataan bahwa malam itu, walaupun dia adalah waktu yang tepat untuk tidur, tetapi hal itu tidak melarang orang mempergunakan waktu siang untuk tidur. Manusia menurut umumnya memang tidur itu di waktu malam, tetapi tidak sedikit pula di antara mereka yang tidur di waktu siang, atau sebagian dari tidurnya dilaksanakan di siang hari. Karena itulah malam didahulukan menyebutkannya.
Kemudian ayat ini ditutup dengan ungkapan, "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan". Dalam ungkapan itu seruan ditujukan kepada pendengaran, bukan pancaindera yang lain. Hal ini merupakan suatu isyarat bahwa pendengaran itu mewujudkan pengetahuan dan memberikan pengertian bahwa tidur di malam dan siang hari. serta berusaha mencari karunia Tuhan adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Hanyalah orang yang mempunyai pendengaran yang tajam dan peka dan memperhatikan yang didengarnya itu, terutama sekali ayat-ayat Alquran yang dibacakan kepadanya.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.(QS. 30:24)
Surah Ar Ruum 24
وَمِنْ آيَاتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيُحْيِي بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (24)
Ayat ini menerangkan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah yang lain, yaitu adanya kilat. Kilat adalah suatu fenomena (gejala) alam yang dapat disaksikan oleh pancaindera dan dapat pula diterangkan secara ilmiah. Kilat timbul dari bunga api listrik yang terjadi di kala bersatunya listrik positif yang berada di kelompok awan yang mengandung air dengan listrik negatif yang berada di bumi, sewaktu keduanya sedang berdekatan, umpamanya di waktu awan itu sedang berada di puncak gunung. Dari persatuan kedua macam listrik itu timbullah pengosongan udara yang mengakibatkan kilat, lalu diikuti oleh petir, kemudian diikuti pula oleh turunnya hujan. Jadi penyebab terjadinya kilat itu, suatu yang jelas ialah dia merupakan suatu fenomena (gejala) alam yang timbul dari aturan yang diciptakan Tuhan untuk mengatur alam ini.
Alquran cocok dengan keadaannya sebagai buku dakwah, maka dia tidak memperinci hakikat fenomena-fenomena alam itu serta tidak menerangkan sebab-sebabnya. Alquran hanya menyebutkan hal itu sebagai alat untuk menghubungkan hati manusia dengan alam dan Penciptanya. Karena itu di sini dia menetapkan salah satu tanda adanya Allah, yaitu dengan memperlihatkan keadaan kilat yang menimbulkan takut dan harapan. Kedua perasaan naluri itu datang silih berganti pada jiwa manusia dalam menghadapi fenomena itu. Perasaan takut di kala melihat kilat itu ialah karena kilat itu akan diikuti oleh petir, sedang petir ini kalau menyambar sesuatu akan binasalah dia. Bila manusia disambarnya akan mati terbakarlah manusia itu. Bila metal (logam) yang disambarnya akan cair dan meleburlah dia. Bila batu dan bangunan yang disambarnya, akan hancur dan berderai-derailah dia. Atau ketakutan yang samar-samar ketika melihat kilat itu, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kekuatan yang mengendalikan alam semesta ini. Dan perasaan harapan pada harta benda dengan akan turunnya hujan yang biasa menemani kilat itu. Sesudah kata-kata takut dan harapan, ayat ini dilanjutkan dengan "Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya".
Ungkapan hidup dan mati itu jika dibandingkan dengan tanah adalah suatu ungkapan yang menggambarkan bahwa tanah itu merupakan benda hidup, yang dapat pula hidup dan dapat pula mati. Begitulah hakikat yang digambarkan Alquran. Alam ini adalah makhluk hidup, yang tunduk dan patuh kepada Tuhan, mengerjakan perintah-Nya dengan bertasbih dan beribadat kepada-Nya. Manusia yang hidup di atas bumi adalah salah satu dari makhluk-makhluk Allah itu. Mereka ikut beserta makhluk-makhluk itu dalam satu parade (pawai) besar menghadap Allah Tuhan semesta alam.
Di samping itu air apabila menyirami tanah, dia akan menyuburkannya. Kemudian tumbuhlah tumbuh-tumbuhan yang hidup. Daun-daunnya berkembang begitu pula halnya dengan hewan dan manusia. Air itu merupakan Rasul dan pembawa kehidupan. Di mana ada air disitu ada kehidupan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. Ayat ini diakhiri dengan kata "akal", sebagai media untuk berpikir dan menyelidik.
وَمِنْ آيَاتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيُحْيِي بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (24)
Ayat ini menerangkan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah yang lain, yaitu adanya kilat. Kilat adalah suatu fenomena (gejala) alam yang dapat disaksikan oleh pancaindera dan dapat pula diterangkan secara ilmiah. Kilat timbul dari bunga api listrik yang terjadi di kala bersatunya listrik positif yang berada di kelompok awan yang mengandung air dengan listrik negatif yang berada di bumi, sewaktu keduanya sedang berdekatan, umpamanya di waktu awan itu sedang berada di puncak gunung. Dari persatuan kedua macam listrik itu timbullah pengosongan udara yang mengakibatkan kilat, lalu diikuti oleh petir, kemudian diikuti pula oleh turunnya hujan. Jadi penyebab terjadinya kilat itu, suatu yang jelas ialah dia merupakan suatu fenomena (gejala) alam yang timbul dari aturan yang diciptakan Tuhan untuk mengatur alam ini.
Alquran cocok dengan keadaannya sebagai buku dakwah, maka dia tidak memperinci hakikat fenomena-fenomena alam itu serta tidak menerangkan sebab-sebabnya. Alquran hanya menyebutkan hal itu sebagai alat untuk menghubungkan hati manusia dengan alam dan Penciptanya. Karena itu di sini dia menetapkan salah satu tanda adanya Allah, yaitu dengan memperlihatkan keadaan kilat yang menimbulkan takut dan harapan. Kedua perasaan naluri itu datang silih berganti pada jiwa manusia dalam menghadapi fenomena itu. Perasaan takut di kala melihat kilat itu ialah karena kilat itu akan diikuti oleh petir, sedang petir ini kalau menyambar sesuatu akan binasalah dia. Bila manusia disambarnya akan mati terbakarlah manusia itu. Bila metal (logam) yang disambarnya akan cair dan meleburlah dia. Bila batu dan bangunan yang disambarnya, akan hancur dan berderai-derailah dia. Atau ketakutan yang samar-samar ketika melihat kilat itu, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kekuatan yang mengendalikan alam semesta ini. Dan perasaan harapan pada harta benda dengan akan turunnya hujan yang biasa menemani kilat itu. Sesudah kata-kata takut dan harapan, ayat ini dilanjutkan dengan "Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya".
Ungkapan hidup dan mati itu jika dibandingkan dengan tanah adalah suatu ungkapan yang menggambarkan bahwa tanah itu merupakan benda hidup, yang dapat pula hidup dan dapat pula mati. Begitulah hakikat yang digambarkan Alquran. Alam ini adalah makhluk hidup, yang tunduk dan patuh kepada Tuhan, mengerjakan perintah-Nya dengan bertasbih dan beribadat kepada-Nya. Manusia yang hidup di atas bumi adalah salah satu dari makhluk-makhluk Allah itu. Mereka ikut beserta makhluk-makhluk itu dalam satu parade (pawai) besar menghadap Allah Tuhan semesta alam.
Di samping itu air apabila menyirami tanah, dia akan menyuburkannya. Kemudian tumbuhlah tumbuh-tumbuhan yang hidup. Daun-daunnya berkembang begitu pula halnya dengan hewan dan manusia. Air itu merupakan Rasul dan pembawa kehidupan. Di mana ada air disitu ada kehidupan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. Ayat ini diakhiri dengan kata "akal", sebagai media untuk berpikir dan menyelidik.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu ke luar (dari kubur).(QS. 30:25)
Surah Ar Ruum 25
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِنَ الْأَرْضِ إِذَا أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ (25)
Berdirinya langit dan bumi dengan iradat Allah, artinya: "Beradanya keduanya tetap dalam keadaannya dengan penjagaan Allah dan peraturan-peraturan yang diadakan-Nya untuk mengatur keduanya. Yang dimaksud dengan iradat Allah (bi amrihi) di sini ialah kekuasaan dan kesanggupan-Nya. Ini berarti bila seseorang berpendapat bahwa alam semesta ini, baik langit maupun bumi telah ada sedemikian rupa menurut tabiatnya, tanpa dipelihara oleh Allah, bagaimana pula pendapat mereka tentang aturan alam yang sangat harmonis itu, sehingga yang satu dengan yang lainnya, tak pernah bertubrukan. Apakah ini juga karena yang demikian itu sudah menjadi tabiatnya?. Kalau demikian halnya tentu alam itu berakal, bijaksana, mengatur, dan mempunyai kesanggupan. Ini adalah suatu hal yang tidak mungkin, karena jelas bahwa alam ini tidak berakal, maka jelas pula bahwa alam ini bukanlah diadakan dan diatur oleh tabiat alam itu sendiri, tetapi oleh Tuhan. Orang yang mengingkari bahwa alam ini ciptaan Allan dan berada di bawah penjagaan-Nya adalah karena mereka tidak mau mengakui keesaan Allah. Oleh karena langit dan bumi akan tetap dalam keadaannya yang sekarang ini, hanya sampai datangnya suatu saat yang telah ditentukan, yaitu saat terjadinya kiamat, maka di kala saat itu datang manusia akan memenuhi panggilan Tuhan, untuk keluar dari dalam kubur mereka. Dan adanya panggilan ini maka manusia bangkitlah dari kuburnya.
Hal itu adalah suatu peraturan yang berlaku dalam alam ini, seperti aturan jalannya bintang-bintang di falaknya, begitu juga aturan malam dan siang yang terjadi dari peredaran matahari dan bumi pada falaknya juga. Kapan datangnya hari berbangkit itu belum diketahui oleh seseorang juapun. Yang jelas seruan berbangkit itu datang setelah manusia mati semuanya. Ungkapan seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur), menunjukkan bahwa kebangkitan dari kubur itu langsung setelah seruan, tidak terlambat walau sesaat sekalipun. Seperti firman Tuhan dalam ayat yang lain:
ونفخ في الصور فإذا هم من الأجداث إلى ربهم ينسلون
Artinya:
Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. (Q.S. Yasin: 51)
Kata-kata seketika itu juga atau kata-kata tiba-tiba di sini ditujukan kepada mereka yang tidak menghendaki hari berbangkit itu, dan tidak percaya dengan hari akhirat. Karena itu dipahami bahwa apabila mereka dibangkitkan pada hari kiamat mereka tercengang dan merasa heran mereka berkata seperti yang dihikayatkan Alquran:
قالوا يا ويلنا من بعثنا من مرقدنا
Artinya:
Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? (Q.S. Yasin: 52)
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِنَ الْأَرْضِ إِذَا أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ (25)
Berdirinya langit dan bumi dengan iradat Allah, artinya: "Beradanya keduanya tetap dalam keadaannya dengan penjagaan Allah dan peraturan-peraturan yang diadakan-Nya untuk mengatur keduanya. Yang dimaksud dengan iradat Allah (bi amrihi) di sini ialah kekuasaan dan kesanggupan-Nya. Ini berarti bila seseorang berpendapat bahwa alam semesta ini, baik langit maupun bumi telah ada sedemikian rupa menurut tabiatnya, tanpa dipelihara oleh Allah, bagaimana pula pendapat mereka tentang aturan alam yang sangat harmonis itu, sehingga yang satu dengan yang lainnya, tak pernah bertubrukan. Apakah ini juga karena yang demikian itu sudah menjadi tabiatnya?. Kalau demikian halnya tentu alam itu berakal, bijaksana, mengatur, dan mempunyai kesanggupan. Ini adalah suatu hal yang tidak mungkin, karena jelas bahwa alam ini tidak berakal, maka jelas pula bahwa alam ini bukanlah diadakan dan diatur oleh tabiat alam itu sendiri, tetapi oleh Tuhan. Orang yang mengingkari bahwa alam ini ciptaan Allan dan berada di bawah penjagaan-Nya adalah karena mereka tidak mau mengakui keesaan Allah. Oleh karena langit dan bumi akan tetap dalam keadaannya yang sekarang ini, hanya sampai datangnya suatu saat yang telah ditentukan, yaitu saat terjadinya kiamat, maka di kala saat itu datang manusia akan memenuhi panggilan Tuhan, untuk keluar dari dalam kubur mereka. Dan adanya panggilan ini maka manusia bangkitlah dari kuburnya.
Hal itu adalah suatu peraturan yang berlaku dalam alam ini, seperti aturan jalannya bintang-bintang di falaknya, begitu juga aturan malam dan siang yang terjadi dari peredaran matahari dan bumi pada falaknya juga. Kapan datangnya hari berbangkit itu belum diketahui oleh seseorang juapun. Yang jelas seruan berbangkit itu datang setelah manusia mati semuanya. Ungkapan seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur), menunjukkan bahwa kebangkitan dari kubur itu langsung setelah seruan, tidak terlambat walau sesaat sekalipun. Seperti firman Tuhan dalam ayat yang lain:
ونفخ في الصور فإذا هم من الأجداث إلى ربهم ينسلون
Artinya:
Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. (Q.S. Yasin: 51)
Kata-kata seketika itu juga atau kata-kata tiba-tiba di sini ditujukan kepada mereka yang tidak menghendaki hari berbangkit itu, dan tidak percaya dengan hari akhirat. Karena itu dipahami bahwa apabila mereka dibangkitkan pada hari kiamat mereka tercengang dan merasa heran mereka berkata seperti yang dihikayatkan Alquran:
قالوا يا ويلنا من بعثنا من مرقدنا
Artinya:
Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? (Q.S. Yasin: 52)
Dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya hanya kepada-Nya tunduk.(QS. 30:26)
Surah Ar Ruum 26
وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ (26)
Ayat ini merupakan natijah atau hasil dari ayat-ayat tersebut di atas, dengan arti bahwa demikianlah kekuasaan dan kebesaran Tuhan, maka apa saja yang berada di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya dan tunduk kepada-Nya. Dalam pada itu kita sebetulnya melihat bahwa kebanyakan manusia tidak tunduk dan menyembah Allah SWT. Maka ketetapan yang ada di dalam ayat ini berarti tunduknya tiap-tiap sesuatu yang ada di semua langit dan bumi kepada iradat dan kehendak Allah. Kehendak-Nya yang mengendalikan semuanya itu cocok dengan Sunah yang telah di tentukan-Nya. Dalam hal ini semuanya tunduk kepada Sunah itu, walaupun manusia dalam perbuatan dan kerjanya adalah yang durhaka dan ingkar. Sesungguhnya yang durhaka itu adalah akal dan hati mereka. Adapun yang berkenaan dengan jasad, mereka tunduk dan diatur menurut hukum-hukum alam yang disebut sunnatullah itu. Tuhan berfirman:
وله أسلم من في السموات والأرض طوعا وكرها
Artinya:
Padahal kepada-Nyalah menyerahkan diri segala apa yang ada di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa. (Q.S. Ali Imran: 83)
Selanjutnya ayat-ayat mengenai bukti kebesaran Tuhan tersebut di atas diakhiri dengan peringatan tentang hari berbangkit, karena hal itu dilupakan manusia.
وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ (26)
Ayat ini merupakan natijah atau hasil dari ayat-ayat tersebut di atas, dengan arti bahwa demikianlah kekuasaan dan kebesaran Tuhan, maka apa saja yang berada di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya dan tunduk kepada-Nya. Dalam pada itu kita sebetulnya melihat bahwa kebanyakan manusia tidak tunduk dan menyembah Allah SWT. Maka ketetapan yang ada di dalam ayat ini berarti tunduknya tiap-tiap sesuatu yang ada di semua langit dan bumi kepada iradat dan kehendak Allah. Kehendak-Nya yang mengendalikan semuanya itu cocok dengan Sunah yang telah di tentukan-Nya. Dalam hal ini semuanya tunduk kepada Sunah itu, walaupun manusia dalam perbuatan dan kerjanya adalah yang durhaka dan ingkar. Sesungguhnya yang durhaka itu adalah akal dan hati mereka. Adapun yang berkenaan dengan jasad, mereka tunduk dan diatur menurut hukum-hukum alam yang disebut sunnatullah itu. Tuhan berfirman:
وله أسلم من في السموات والأرض طوعا وكرها
Artinya:
Padahal kepada-Nyalah menyerahkan diri segala apa yang ada di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa. (Q.S. Ali Imran: 83)
Selanjutnya ayat-ayat mengenai bukti kebesaran Tuhan tersebut di atas diakhiri dengan peringatan tentang hari berbangkit, karena hal itu dilupakan manusia.
Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan) nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. 30:27)
Surah Ar Ruum 27
وَهُوَ الَّذِي يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ وَلَهُ الْمَثَلُ الْأَعْلَى فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (27)
Ayat ini juga merupakan natijah ayat terdahulu. Ayat ini menetapkan bahwa siapa yang memiliki semua langit dan bumi, Dialah yang memulai kejadiannya, dan Dia pula yang mengembalikannya sesudah mati seperti semula.
Dalam surat ini pada ayat 11 tersebut di atas telah disebutkan mengenai permulaan kejadian dan pengembaliannya setelah ia mati. Hal itu diulang lagi di sini untuk menguatkan pernyataan itu setelah diterangkan bukti kebesaran Allah SWT tersebut di atas. Di sini ditambahkan sesuatu yang baru, yaitu kalimat "Dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya". Dalam ayat ini ada kata-kata "lebih mudah" yakni menghidupkan adalah lebih mudah bagi Allah dari pada penciptaannya semula. Akan tetapi lebih mudahnya menghidupkan kembali dari pada menciptakan semua itu adalah dengan membandingkannya kepada kebiasaan yang berlaku pada manusia, bukan dihubungkan kepada Allah, sebab bagi Allah semuanya adalah mudah. Allah tidak akan merasa berat mengadakan sesuatu apapun. Allah SWT berfirman:
إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون
Artinya:
Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepada-Nya: "Jadilah! Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin: 82)
Jadi bagi Allah, mengadakan hal-hal kecil maupun besar adalah sama saja.
Maka kata-kata "lebih muduh" di sini ditinjau dari segi kesanggupan manusia, tentang segala sesuatu yang dibikinnya. Bagi manusia, menciptakan sesuatu lebih sukar dari pada mengulangi segala daya upaya, kesungguhan dan lain sebagainya. Dalam usahanya itu mereka melakukan kesalahan berulang kali, baru sampai kepada yang dimaksud. Setelah sampai kepada yang dicita-citakannya itu, tentu mengulang membuatnya kembali dengan mudah baginya, tidak membutuhkan tenaga lagi seperti memulainya, sebab segala sesuatu telah terbayang dalam benaknya bagaimana cara-cara membuatnya itu. Adapun bagi Tuhan tak ada yang lebih mudah atau lebih sukar. Semuanya mudah bagi Allah SWT.
Kata-kata "lebih mudah" ini diberi komentar pula dengan kalimat "Dan bagi-Nyalah sifat Yang Maha Tinggi di langit dan di bumi". Allah SWT itu tunggal di segala langit dan bumi dengan segala sifat-sifat-Nya, tidak ada sesuatupun yang berserikat dengan-Nya. Tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kata-kata "Perkasa" di sini berarti: yang menang, yang dapat membuat apa yang dikehendaki. "Bijaksana" berarti mengendalikan segala makhluk dengan teliti dan dengan batas-batasnya.
وَهُوَ الَّذِي يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ وَلَهُ الْمَثَلُ الْأَعْلَى فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (27)
Ayat ini juga merupakan natijah ayat terdahulu. Ayat ini menetapkan bahwa siapa yang memiliki semua langit dan bumi, Dialah yang memulai kejadiannya, dan Dia pula yang mengembalikannya sesudah mati seperti semula.
Dalam surat ini pada ayat 11 tersebut di atas telah disebutkan mengenai permulaan kejadian dan pengembaliannya setelah ia mati. Hal itu diulang lagi di sini untuk menguatkan pernyataan itu setelah diterangkan bukti kebesaran Allah SWT tersebut di atas. Di sini ditambahkan sesuatu yang baru, yaitu kalimat "Dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya". Dalam ayat ini ada kata-kata "lebih mudah" yakni menghidupkan adalah lebih mudah bagi Allah dari pada penciptaannya semula. Akan tetapi lebih mudahnya menghidupkan kembali dari pada menciptakan semua itu adalah dengan membandingkannya kepada kebiasaan yang berlaku pada manusia, bukan dihubungkan kepada Allah, sebab bagi Allah semuanya adalah mudah. Allah tidak akan merasa berat mengadakan sesuatu apapun. Allah SWT berfirman:
إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون
Artinya:
Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepada-Nya: "Jadilah! Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin: 82)
Jadi bagi Allah, mengadakan hal-hal kecil maupun besar adalah sama saja.
Maka kata-kata "lebih muduh" di sini ditinjau dari segi kesanggupan manusia, tentang segala sesuatu yang dibikinnya. Bagi manusia, menciptakan sesuatu lebih sukar dari pada mengulangi segala daya upaya, kesungguhan dan lain sebagainya. Dalam usahanya itu mereka melakukan kesalahan berulang kali, baru sampai kepada yang dimaksud. Setelah sampai kepada yang dicita-citakannya itu, tentu mengulang membuatnya kembali dengan mudah baginya, tidak membutuhkan tenaga lagi seperti memulainya, sebab segala sesuatu telah terbayang dalam benaknya bagaimana cara-cara membuatnya itu. Adapun bagi Tuhan tak ada yang lebih mudah atau lebih sukar. Semuanya mudah bagi Allah SWT.
Kata-kata "lebih mudah" ini diberi komentar pula dengan kalimat "Dan bagi-Nyalah sifat Yang Maha Tinggi di langit dan di bumi". Allah SWT itu tunggal di segala langit dan bumi dengan segala sifat-sifat-Nya, tidak ada sesuatupun yang berserikat dengan-Nya. Tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kata-kata "Perkasa" di sini berarti: yang menang, yang dapat membuat apa yang dikehendaki. "Bijaksana" berarti mengendalikan segala makhluk dengan teliti dan dengan batas-batasnya.
Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam rezki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal.(QS. 30:28)
Surah Ar Ruum 28
ضَرَبَ لَكُمْ مَثَلًا مِنْ أَنْفُسِكُمْ هَلْ لَكُمْ مِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ شُرَكَاءَ فِي مَا رَزَقْنَاكُمْ فَأَنْتُمْ فِيهِ سَوَاءٌ تَخَافُونَهُمْ كَخِيفَتِكُمْ أَنْفُسَكُمْ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (28)
Ayat ini menerangkan perumpamaan yang lain yang diberikan Allah SWT. Perumpamaan itu masih berkisar pada fakta kehidupan manusia itu sendiri sesuai pula dengan tingkatan akal pikiran mereka. sehingga mereka dapat mengambil pelajaran dari perumpamaan itu. serta menyifati Allah dengan segala sifat-sifat kesempurnaan yang pantas bagi-Nya.
Dalam ayat ini adalah suatu misal bagi orang-orang yang menyembah di samping Allah, beberapa tuban yang lain, serta menjadikan tuhan-tuhan itu sebagai sembahan yang mereka sembah. Bahkan mereka mengutamakan kesetiaan kepada tuhan-tuhan itu sendiri pada diri mereka sendiri.
Dalam misal itu kaum musyrik Mekah di suruh memperhatikan diri mereka sendiri dan kedudukan yang ada antara mereka dan budak-budak mereka sendiri dan kedudukan yang ada antara mereka dengan budak-budak mereka. Apakah mereka, sebagai tuan mau menyerahkan kepada budak-budak yang mereka miliki itu semua milik mereka. dan mengikut sertakan budak-budak itu dalam urusan harta benda dan kesenangan yang telah diberikan Allah kepada mereka, sehingga budak-budak itu merupakan saingan dan serikat mereka dan dapat pula mengendalikan harta benda dan kesenangan itu?. Apakah para tuan-tuan pemilik budak dapat menerima ketentuan bahwa bagi budak-budak mereka itu ada kekuasaan atas apa yang mereka miliki. sehingga mereka tidak dapat bertindak atas milik mereka sebelum mendapat kerelaan dan persetujuan dari budak mereka?. Hal itu tentu tidak akan diterima dan disukai oleh tuan mereka. Andaikata hal itu dapat diterimanya. tentu mereka tidak mempunyai kekuasaan lagi.
Persoalan itu terjadi dua macam makhluk Allah yaitu antara tuan-tuan dan budak-budak mereka dalam mengurus dan menikmati rezeki, harta dan nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka. Tuan tidak mau mengalah sedikitpun kepada budaknya dalam menguasai hartanya.
Allah SWT sebagai pemilik segala sesuatu, Maha Kuasa lagi Maha Perkasa dan tidak akan mau dijadikan oleh orang-orang musyrik berserikat dengan makhluk yang diciptakan-Nya yang berupa patung-patung itu sebagaimana mereka sendiri tidak akan mau berserikat dengan budak-budaknya dalam mengurus dan menguasai milik-Nya. Setiap orang yang menggunakan akal dan pikirannya yang sehat akan memahami perumpamaan itu. Tindakan orang-orang musyrik itu merupakan penghinaan bagi Allah SWT.
Perumpamaan itu ditujukan Allah SWT kepada kaum yang mempersekutukan Nya, yang menyembah selain dari-Nya, dan menjadikan bagi-Nya saingan-saingan. Padahal mereka mengakui bahwa sekutu-Nya itu terdiri dari patung-patung dan berhala-berhala adalah hamba dan milik Tuhan. Hal ini jelas ada perkataan mereka di waktu mengucapkan talbiah dan doa ketika mereka melakukan haji:
لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إلا شريك هو لك وتملك وما ملك.
Artinya:
"Aku menjawab panggilan-Mu hai Tuhan, aku menjawab panggilan Mu. Tak ada serikat bagi Mu, kecuali serikat yang menjadi milik-Mu yang Engkau miliki dan apa yang dimiliki berhala itu.
Apakah kaum musyrikin itu tetap pada pendirian mereka bahwa bagi Allah itu ada sekutu, sedang mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, setelah adanya keterangan yang jelas beserta argumentasi yang sangat kuat itu?. Mereka akan menerima dalil itu dan ada pula yang tidak. Kebanyakan kaum musyrik itu buta mata mereka dan jiwanya berpenyakit sehingga mereka tidak melihat keterangan yang jelas dan dalil yang kuat itu.
Ayat ini ditutup dengan kalimat "Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal". Hanya orang-orang yang mempergunakan akalnya yang dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat suci Alquran, serta mendapat petunjuk dan pelajaran daripadanya.
ضَرَبَ لَكُمْ مَثَلًا مِنْ أَنْفُسِكُمْ هَلْ لَكُمْ مِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ شُرَكَاءَ فِي مَا رَزَقْنَاكُمْ فَأَنْتُمْ فِيهِ سَوَاءٌ تَخَافُونَهُمْ كَخِيفَتِكُمْ أَنْفُسَكُمْ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (28)
Ayat ini menerangkan perumpamaan yang lain yang diberikan Allah SWT. Perumpamaan itu masih berkisar pada fakta kehidupan manusia itu sendiri sesuai pula dengan tingkatan akal pikiran mereka. sehingga mereka dapat mengambil pelajaran dari perumpamaan itu. serta menyifati Allah dengan segala sifat-sifat kesempurnaan yang pantas bagi-Nya.
Dalam ayat ini adalah suatu misal bagi orang-orang yang menyembah di samping Allah, beberapa tuban yang lain, serta menjadikan tuhan-tuhan itu sebagai sembahan yang mereka sembah. Bahkan mereka mengutamakan kesetiaan kepada tuhan-tuhan itu sendiri pada diri mereka sendiri.
Dalam misal itu kaum musyrik Mekah di suruh memperhatikan diri mereka sendiri dan kedudukan yang ada antara mereka dan budak-budak mereka sendiri dan kedudukan yang ada antara mereka dengan budak-budak mereka. Apakah mereka, sebagai tuan mau menyerahkan kepada budak-budak yang mereka miliki itu semua milik mereka. dan mengikut sertakan budak-budak itu dalam urusan harta benda dan kesenangan yang telah diberikan Allah kepada mereka, sehingga budak-budak itu merupakan saingan dan serikat mereka dan dapat pula mengendalikan harta benda dan kesenangan itu?. Apakah para tuan-tuan pemilik budak dapat menerima ketentuan bahwa bagi budak-budak mereka itu ada kekuasaan atas apa yang mereka miliki. sehingga mereka tidak dapat bertindak atas milik mereka sebelum mendapat kerelaan dan persetujuan dari budak mereka?. Hal itu tentu tidak akan diterima dan disukai oleh tuan mereka. Andaikata hal itu dapat diterimanya. tentu mereka tidak mempunyai kekuasaan lagi.
Persoalan itu terjadi dua macam makhluk Allah yaitu antara tuan-tuan dan budak-budak mereka dalam mengurus dan menikmati rezeki, harta dan nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka. Tuan tidak mau mengalah sedikitpun kepada budaknya dalam menguasai hartanya.
Allah SWT sebagai pemilik segala sesuatu, Maha Kuasa lagi Maha Perkasa dan tidak akan mau dijadikan oleh orang-orang musyrik berserikat dengan makhluk yang diciptakan-Nya yang berupa patung-patung itu sebagaimana mereka sendiri tidak akan mau berserikat dengan budak-budaknya dalam mengurus dan menguasai milik-Nya. Setiap orang yang menggunakan akal dan pikirannya yang sehat akan memahami perumpamaan itu. Tindakan orang-orang musyrik itu merupakan penghinaan bagi Allah SWT.
Perumpamaan itu ditujukan Allah SWT kepada kaum yang mempersekutukan Nya, yang menyembah selain dari-Nya, dan menjadikan bagi-Nya saingan-saingan. Padahal mereka mengakui bahwa sekutu-Nya itu terdiri dari patung-patung dan berhala-berhala adalah hamba dan milik Tuhan. Hal ini jelas ada perkataan mereka di waktu mengucapkan talbiah dan doa ketika mereka melakukan haji:
لبيك اللهم لبيك لبيك لا شريك لك لبيك إلا شريك هو لك وتملك وما ملك.
Artinya:
"Aku menjawab panggilan-Mu hai Tuhan, aku menjawab panggilan Mu. Tak ada serikat bagi Mu, kecuali serikat yang menjadi milik-Mu yang Engkau miliki dan apa yang dimiliki berhala itu.
Apakah kaum musyrikin itu tetap pada pendirian mereka bahwa bagi Allah itu ada sekutu, sedang mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, setelah adanya keterangan yang jelas beserta argumentasi yang sangat kuat itu?. Mereka akan menerima dalil itu dan ada pula yang tidak. Kebanyakan kaum musyrik itu buta mata mereka dan jiwanya berpenyakit sehingga mereka tidak melihat keterangan yang jelas dan dalil yang kuat itu.
Ayat ini ditutup dengan kalimat "Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal". Hanya orang-orang yang mempergunakan akalnya yang dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat suci Alquran, serta mendapat petunjuk dan pelajaran daripadanya.
Tetapi orang-orang yang zalim mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.(QS. 30:29)
Surah Ar Ruum 29
بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ (29)
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa kaum musyrikin itu hanya menyembah selain Allah karena kebodohan dan kejahilan mereka sendiri. Mereka tidak mau memperhatikan keterangan yang jelas di hadapan mereka.
Ayat ini merupakan perumpamaan bagi kaum musyrikin akan ayat-ayat Allah yang terperinci itu. Mereka tidak dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat itu dan juga tidak dapat memetik hikmahnya. Bahkan mereka tetap berada pada kesesatan dan kemusyrikan mereka. Mereka dikendalikan oleh hawa nafsu, sehingga akal pikiran mereka dikuasai oleh hawa nafsu itu. Siapa saja yang demikian keadaannya, dia selamanya takkan dapat dikendalikan kecuali dengan kendali hawa nafsunya. Dia takkan menjawab sesuatu kecuali yang sesuai dengan panggilan setannya.
Suatu perbuatan tanpa ilmu pengetahuan merupakan suatu isyarat bahwa hawa nafsu yang menguasai kaum musyrikin itu ialah hawa nafsu yang buta, yang tidak dapat ditembus oleh cahaya siang yang terang benderang. Kadang-kadang manusia itu mengikuti hawa nafsunya. Kemudian apabila dia diberi peringatan dan diberi petunjuk, dia akan bangkit dan mengikuti petunjuk itu. Begitulah keadaan kaum musyrik yang hidup di zaman kemusyrikan jahiliah. Mereka menyerah kepada hawa nafsu mereka. Tatkala seruan itu datang kepada mereka dan cahaya menyinari mereka, mereka bangun dari tidurnya, dan menerima cahaya Allah. Mereka dapat melihat sesudah buta itu, dan mendapat petunjuk sesudah sesat.
Kemudian ayat ini diakhiri dengan keterangan bahwa mereka yang telah disesatkan Allah tidak akan dapat petunjuk selama-lamanya. Keterangan ini merupakan suatu isyarat kepada kaum musyrik yang keras kepala terhadap kesyirikan, mereka tetap berada pada kesesatan mereka. Mereka tidak akan beranjak agak setapakpun dari kesesatan itu, sebab Allah SWT telah meninggalkan mereka dalam kesesatan dan kemusyrikan, dan membiarkan mereka dalam kesesatan itu. Tuhan berfirman:
من يضلل الله فلا هادي له
Artinya:
Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. (Q.S. Al A'raf: 186)
Mereka tak akan menerima petunjuk. Demikianlah mereka hidup dalam kesesatan dan mati dalamnya. Apabila datang janji Allah mereka berdiri untuk dihisab dan ditanya. Mereka tidak akan mendapat balasan kecuali neraka. Dan tidak ada lagi bagi mereka seorang penolongpun.
بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ (29)
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa kaum musyrikin itu hanya menyembah selain Allah karena kebodohan dan kejahilan mereka sendiri. Mereka tidak mau memperhatikan keterangan yang jelas di hadapan mereka.
Ayat ini merupakan perumpamaan bagi kaum musyrikin akan ayat-ayat Allah yang terperinci itu. Mereka tidak dapat mengambil manfaat dari ayat-ayat itu dan juga tidak dapat memetik hikmahnya. Bahkan mereka tetap berada pada kesesatan dan kemusyrikan mereka. Mereka dikendalikan oleh hawa nafsu, sehingga akal pikiran mereka dikuasai oleh hawa nafsu itu. Siapa saja yang demikian keadaannya, dia selamanya takkan dapat dikendalikan kecuali dengan kendali hawa nafsunya. Dia takkan menjawab sesuatu kecuali yang sesuai dengan panggilan setannya.
Suatu perbuatan tanpa ilmu pengetahuan merupakan suatu isyarat bahwa hawa nafsu yang menguasai kaum musyrikin itu ialah hawa nafsu yang buta, yang tidak dapat ditembus oleh cahaya siang yang terang benderang. Kadang-kadang manusia itu mengikuti hawa nafsunya. Kemudian apabila dia diberi peringatan dan diberi petunjuk, dia akan bangkit dan mengikuti petunjuk itu. Begitulah keadaan kaum musyrik yang hidup di zaman kemusyrikan jahiliah. Mereka menyerah kepada hawa nafsu mereka. Tatkala seruan itu datang kepada mereka dan cahaya menyinari mereka, mereka bangun dari tidurnya, dan menerima cahaya Allah. Mereka dapat melihat sesudah buta itu, dan mendapat petunjuk sesudah sesat.
Kemudian ayat ini diakhiri dengan keterangan bahwa mereka yang telah disesatkan Allah tidak akan dapat petunjuk selama-lamanya. Keterangan ini merupakan suatu isyarat kepada kaum musyrik yang keras kepala terhadap kesyirikan, mereka tetap berada pada kesesatan mereka. Mereka tidak akan beranjak agak setapakpun dari kesesatan itu, sebab Allah SWT telah meninggalkan mereka dalam kesesatan dan kemusyrikan, dan membiarkan mereka dalam kesesatan itu. Tuhan berfirman:
من يضلل الله فلا هادي له
Artinya:
Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. (Q.S. Al A'raf: 186)
Mereka tak akan menerima petunjuk. Demikianlah mereka hidup dalam kesesatan dan mati dalamnya. Apabila datang janji Allah mereka berdiri untuk dihisab dan ditanya. Mereka tidak akan mendapat balasan kecuali neraka. Dan tidak ada lagi bagi mereka seorang penolongpun.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,(QS. 30:30)
Surah Ar Ruum 30
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (30)
Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad saw meneruskan tugasnya dalam memberikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrikin yang keras kepala itu dalam kesesatannya. Dalam kalimat ini, maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; fitrah Allah. Tuhan menyuruh agar Nabi saw mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah. Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mengikuti agama Allah yang telah di jadikan-Nya bagi manusia. Di sini "fitrah" dinamakan "agama" karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat yang lain:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku. (Q.S. Az Zariyat: 56)
Menghadapkan muka artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada yang lain. Dan "muka" dikhususkan menyebutkan di sini, karena muka itu tempat berkumpulnya semua pancaindera kecuali alat perasa. Dan muka itu adalah bagian tubuh yang paling terhormat. Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah yang berbunyi:
ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه هما اللذان يُهَوِّدانه أو يُنَصِّرانه أو يمجسانه كما يُنتَج البهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء. ثم يقول أبو هريرة: واقرءوا إن شئتم: فطرة الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله. وفي رواية: حتى تكونوا أنتم تجدعونها. قالوا: يا رسول الله أفرأيت من يموت صغيرا?. قال: الله أعلم بما كانوا عاملين.
Artinya:
Tidak ada seorang anakpun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. Kedua orang ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan dan memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan binatang dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya". Kemudian Abu Hurairah berkata: "Bacalah ayat ini yang artinya: "Fitrah Allah di mana manusia telah diciptakan atasnya. Tak ada perubahan pada fitrah Allah itu". Dalam riwayat lain, "sehingga kamu merusakkannya (binatang itu)". Para sahabat bertanya: "Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di waktu kecil? Rasul menjawab: "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat". (H.R. Bukhari dan Muslim)
Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah yang tersebut dalam kitab suci Alquran dan hadis Nabi saw. Mereka ada yang berpendapat bahwa fitrah itu artinya "Islam". Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah dan Ibnu Syihab dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan ulama salaf yang berpegang kepada takwil. Alasan mereka adalah ayat 30 tersebut di atas dan hadis Abu Hurairah yang baru saja disalinkan di atas. Mereka juga berhujah dengan hadis Iyad bin Himar Al Mujassyi'i bahwa Rasulullah saw bersabda kepada manusia pada suatu hari:
ألا أحدثكم بما حدثني الله في كتابه: إن الله خلق آدم وبنيه حنفاء مسلمين وأعطاهم المال حلالا لا حرام فيه فجعلوا مما أعطاهم الله حلالا وحراما.
Artinya:
Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab-Nya. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh kepada Allah. Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram. Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram. (H.R. Iyad bin Himar)
Sebagian ulama menafsirkan hadis ini bahwa anak kecil itu diciptakan tidak berdosa dan selamat dan kekafiran sesuai dengan janji yang telah ditetapkan Allah bagi anak cucu Adam di kala mereka dikeluarkan dari tulang sulbinya. Mereka apabila meninggal dunia masuk surga baik anak-anak kaum Muslimin maupun anak-anak kaum kafir.
Sebagian ahli fikih dan ulama yang berpandangan luas mengartikan "fitrah" dengan "kejadian" yang dengannya Allah menjadikan anak mengetahui Tuhannya. Seakan-akan dia berkata: "Tiap-tiap anak dilahirkan atas kejadiannya". Dengan kejadian itu Si anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia telah berakal dan berpengetahuan. Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak sampai dengan kejadian itu kepada pengetahuan tentang Tuhannya. Mereka berhujah bahwa "fitrah" itu berarti kejadian dan "fatir" berarti "yang menjadikan" dengan firman Allah:
قل اللهم فاطر السموات والأرض
Artinya:
Katakanlah: "Ya Allah, Pencipta langit dan bumi". (Q.S. Az Zumar: 46)
Dan firman Allah SWT:
وما لي لا أعبد الذي فطرني
Artinya:
Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku. (Q.S. Yasin: 22)
Dan firman Allah lagi:
قال بل ربكم رب السموات والأرض الذي فطرهن
Artinya:
Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya. (Q.S. Al anbiya: 56)
Dari ayat-ayat tersebut di atas mereka mengambil kesimpulan bahwa "fitrah" berarti kejadian dan "fatir" berarti yang menjadikan. Mereka tak setuju bahwa anak itu dijadikan (difitrahkan) atas kekafiran atau iman atau berpengetahuan atau durhaka. Mereka berpendapat bahwa anak itu umumnya selamat, baik dari segi kehidupan dan kejadiannya, tabiatnya, maupun bentuk tubuhnya. Baginya tidak ada iman, tak ada kafir, tak ada durhaka dan tak ada juga pengetahuan. Mereka berkeyakinan bahwa kafir dan iman itu datang setelah anak itu berakal. Mereka juga berhujah dengan hadis Nabi dari Abu Hurairah tersebut di atas.
كما يُنْتَجُ البهيمة جمعاء هل تحسون فيها جدعاء.
Artinya:
Binatang itu melahirkan binatang dalam keadaan utuh, apakah mereka merasa pada kejadian itu kekurangan?.
Dalam hadis ini hati Bani Adam diumpamakan dengan binatang, sebab dia dilahirkan dalam kejadian yang sempurna, tak ada kekurangan, sesudah itu telinganya terputus, begitu pula hidungnya. Lalu dikatakan ini adalah unta yang dirusak hidungnya dan ini adalah unta yang digunakan untuk nazar dan sebagainya.
Begitu pula keadaan hati anak-anak waktu dilahirkan. Mereka tidak kafir, tidak juga iman, tidak berpengetahuan dan tidak durhaka, tak ubahnya seperti binatang ternak. Tatkala mereka sampai umur setan memperdayakan mereka, maka kebanyakan mereka mengafirkan Tuhan, dan sedikit yang tidak berdosa.
Mereka berpendapat, andaikata anak-anak itu difitrahkan sebagai kafir dan beriman pada permulaannya, tentu mereka tak akan berpindah selama-lamanya dari hal itu. Anak-anak itu adakalanya beriman, kemudian menjadi kafir. Selanjutnya para ahli itu berpendapat bahwa adalah mustahil dan masuk akal seseorang anak di waktu dilahirkan telah tahu iman dan kafir, sebab Allah telah mengeluarkan dari perut ibunya dalam keadaan tak mengetahui sedikitpun.
Allah SWT berfirman:
والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا
Artinya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. (Q.S. An Nahl: 78)
Siapa yang tak mengetahui sesuatu mustahillah dia akan menjadi kafir. beriman, berpengetahuan atau durhaka.
Abu Umar bin Abdil Barr berkata bahwa pendapat ini adalah arti fitrah yang lebih tepat di mana manusia dilahirkan atasnya. Hujah mereka yang lain ialah firman Allah:
إنما تجزون ما كنتم تعملون
Artinya:
Kami diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. At Tur: 16)
Dan firman Allah SWT:
كل نفس بما كسبت رهينة
Artinya:
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (Q.S. Al Mudassir: 38)
Orang yang belum sampai masanya untuk bekerja tidak akan dihisab.
Dari hal tersebut di atas mustahillah fitrah itu berarti Islam. Seperti yang dikatakan Ibnu Syihab. Sebab Islam dan iman itu ialah perkataan dengan lisan, iktikad dengan hati dan perbuatan dengan anggota tubuh. Hal ini tak ada pada anak kecil. Dan orang yang berakal mengetahui keadaan ini.
Kebanyakan para penyelidik di antaranya Ibnu Atiyah dalam buku tafsirnya di waktu mengartikan fitrah, dan begitu Syekh Abdul Abbas berpendapat sesuai dengan pendapat Umar di atas, lbnu Atiyah dalam tafsirnya berkata bahwa yang dapat dipegangi pada kata "fitrah" ini ialah berarti "kejadian" dan kesediaan untuk menerima sesuatu yang ada dalam jiwa anak itu. Dengan keadaan itu seseorang dapat dibedakan dengan ciptaan-ciptaan Allah SWT yang lain. Dengan fitrah itu seorang anak akan mendapat petunjuk dan percaya kepada Tuhannya. Seakan-akan Tuhan berfirman: "Hadapkanlah mukamu kepada agama yang lurus yaitu fitrah Allah yang disediakan bagi kejadian manusia, tetapi karena banyak hal yang menghalangi mereka, maka mereka tidak mencapai fitrah itu. Dalam sabda Nabi yang artinya: "Tiap anak dilahirkan menurut fitrah. Bapaknya yang akan menjadikan ia seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi". Disebutkan dua orang ibu bapak sebagai contoh dari halangan-halangan yang banyak itu.
Dalam ibadat lain Syekh Abdul Abbas berkata: "Sesungguhnya Allah SWT menjadikan hati anak Adam bersedia menerima kebenaran, sebagaimana mata dan telinga mereka bersedia menerima penglihatan dan pendengaran. Selama menerima itu tetap ada pada hati mereka, tentu mereka akan memperoleh kebenaran dan agama Islam yakni agama yang benar.
Kebanyakan pendapat ini dikuatkan dengan sabda Nabi yang artinya: "Sebagaimana menghasilkan binatang yang utuh. Adakah mereka menghasilkan yang lain? Adakah mereka merasakan kekurangan pendapat padanya?". Maksudnya ialah, binatang itu melahirkan anaknya sempurna kejadiannya tak ada kekurangan. Andaikata dia dibiarkan menurut dasar kejadiannya itu tentu dia akan tetap sempurna, tak ada aibnya. Tetapi dia di atur menurut kehendak manusia, maka rusaklah telinga dan hidungnya dilubangi tempat mengikatkan tali sehingga timbullah padanya keburukan dan kekurangan, lalu tidak sesuai lagi dengan keasliannya. Demikian pulalah keadaannya dengan manusia. Hal itu adalah perumpamaan dari fakta kehidupan.
Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir. Adapun maksud sabda Nabi saw tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik. beliau menjawab: "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui". yaitu apabila mereka berakal. Takwil ini dikuatkan oleh hadis Bukhari dan Samurah bin Jundab dari Nabi saw. yaitu hadis yang panjang. Sebagian dari hadis itu berbunyi sebagai berikut:
وأما الرجل الطويل الذي في روصة فإبراهيم عليه السلام وأما الوِلْدَان فكل مولود يولد على الفطرة. قال: فقيل يا رسول الله, وأولاد المشركين, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: وأولاد المشركين.
Artinya:
Adapun orang yang tinggi itu yang ada di surga adalah Ibrahim as. Adapun anak-anak yang ada di sekitarnya semuanya adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah. Samurah berkata. "Maka Rasulullah ditanya: Ya Rasulullah, tentang anak-anak musyrik? "Rasulullah menjawab: "Dan anak-anak musyrik".
Diriwayatkan dari Anas, katanya: "Ditanya Rasulullah saw tentang anak-anak musyrik, beliau bersabda:
لم تكن لهم حسنات فيُجزوا بها فيكونوا من ملوك الجنة ولم تكن لهم سيئات فيُعاقبوا عليها فيكونوا من أهل النار فهم خدم لأهل الجنة.
Artinya:
Mereka tak mempunyai kebaikan, untuk diberikan ganjaran, lalu akan menjadi raja-raja surga. Mereka tak mempunyai kejelekan untuk dihisab (disiksa) lalu mereka akan berada di antara penduduk neraka. Mereka adalah pelayan-pelayan bagi ahli surga.
Demikianlah beberapa pendapat mengenai kata fitrah dan hubungannya dengan anak kecil yang belum sampai umur. Diduga bahwa pendapat yang agak kuat ialah pendapat terakhir ini, yaitu pendapat Ibnu Atiyah yang disokong oleh Syekh Abdul Abbas.
Kemudian kalimat dalam ayat (30) ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tak ada perubahannya. Allah tak akan merubah fitrah-Nya itu. Tak ada sesuatupun yang menyalahi peraturan itu, maksudnya ialah tidak akan merana orang yang dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya sengsara. Menurut mujahid artinya ialah: "tak ada perubahan bagi agama Allah". Pendapat ini disokong Qatadah, Ibnu Jubair, Dahhak, Ibnu Zaid dan Nakha'i. Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan. Ikrimah berkata; diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Umar bin Khatab berkata yang artinya ialah tak ada perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan. Perkataan ini maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.
Itulah agama yang lurus, maksudnya Ibnu Abbas: "Itulah keputusan yang lurus". Muqatil mengatakan itulah perhitungan yang nyata. Ada yang mengatakan bahwa "agama yang lurus" itu ialah agama Islam.
Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka tak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar. Karena itu mereka tak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan Tuhan yang lebih terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusannya.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (30)
Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad saw meneruskan tugasnya dalam memberikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrikin yang keras kepala itu dalam kesesatannya. Dalam kalimat ini, maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; fitrah Allah. Tuhan menyuruh agar Nabi saw mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah. Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mengikuti agama Allah yang telah di jadikan-Nya bagi manusia. Di sini "fitrah" dinamakan "agama" karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat yang lain:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku. (Q.S. Az Zariyat: 56)
Menghadapkan muka artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada yang lain. Dan "muka" dikhususkan menyebutkan di sini, karena muka itu tempat berkumpulnya semua pancaindera kecuali alat perasa. Dan muka itu adalah bagian tubuh yang paling terhormat. Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah yang berbunyi:
ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه هما اللذان يُهَوِّدانه أو يُنَصِّرانه أو يمجسانه كما يُنتَج البهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء. ثم يقول أبو هريرة: واقرءوا إن شئتم: فطرة الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله. وفي رواية: حتى تكونوا أنتم تجدعونها. قالوا: يا رسول الله أفرأيت من يموت صغيرا?. قال: الله أعلم بما كانوا عاملين.
Artinya:
Tidak ada seorang anakpun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. Kedua orang ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan dan memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan binatang dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya". Kemudian Abu Hurairah berkata: "Bacalah ayat ini yang artinya: "Fitrah Allah di mana manusia telah diciptakan atasnya. Tak ada perubahan pada fitrah Allah itu". Dalam riwayat lain, "sehingga kamu merusakkannya (binatang itu)". Para sahabat bertanya: "Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di waktu kecil? Rasul menjawab: "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat". (H.R. Bukhari dan Muslim)
Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah yang tersebut dalam kitab suci Alquran dan hadis Nabi saw. Mereka ada yang berpendapat bahwa fitrah itu artinya "Islam". Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah dan Ibnu Syihab dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan ulama salaf yang berpegang kepada takwil. Alasan mereka adalah ayat 30 tersebut di atas dan hadis Abu Hurairah yang baru saja disalinkan di atas. Mereka juga berhujah dengan hadis Iyad bin Himar Al Mujassyi'i bahwa Rasulullah saw bersabda kepada manusia pada suatu hari:
ألا أحدثكم بما حدثني الله في كتابه: إن الله خلق آدم وبنيه حنفاء مسلمين وأعطاهم المال حلالا لا حرام فيه فجعلوا مما أعطاهم الله حلالا وحراما.
Artinya:
Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab-Nya. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh kepada Allah. Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram. Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram. (H.R. Iyad bin Himar)
Sebagian ulama menafsirkan hadis ini bahwa anak kecil itu diciptakan tidak berdosa dan selamat dan kekafiran sesuai dengan janji yang telah ditetapkan Allah bagi anak cucu Adam di kala mereka dikeluarkan dari tulang sulbinya. Mereka apabila meninggal dunia masuk surga baik anak-anak kaum Muslimin maupun anak-anak kaum kafir.
Sebagian ahli fikih dan ulama yang berpandangan luas mengartikan "fitrah" dengan "kejadian" yang dengannya Allah menjadikan anak mengetahui Tuhannya. Seakan-akan dia berkata: "Tiap-tiap anak dilahirkan atas kejadiannya". Dengan kejadian itu Si anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia telah berakal dan berpengetahuan. Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak sampai dengan kejadian itu kepada pengetahuan tentang Tuhannya. Mereka berhujah bahwa "fitrah" itu berarti kejadian dan "fatir" berarti "yang menjadikan" dengan firman Allah:
قل اللهم فاطر السموات والأرض
Artinya:
Katakanlah: "Ya Allah, Pencipta langit dan bumi". (Q.S. Az Zumar: 46)
Dan firman Allah SWT:
وما لي لا أعبد الذي فطرني
Artinya:
Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku. (Q.S. Yasin: 22)
Dan firman Allah lagi:
قال بل ربكم رب السموات والأرض الذي فطرهن
Artinya:
Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya. (Q.S. Al anbiya: 56)
Dari ayat-ayat tersebut di atas mereka mengambil kesimpulan bahwa "fitrah" berarti kejadian dan "fatir" berarti yang menjadikan. Mereka tak setuju bahwa anak itu dijadikan (difitrahkan) atas kekafiran atau iman atau berpengetahuan atau durhaka. Mereka berpendapat bahwa anak itu umumnya selamat, baik dari segi kehidupan dan kejadiannya, tabiatnya, maupun bentuk tubuhnya. Baginya tidak ada iman, tak ada kafir, tak ada durhaka dan tak ada juga pengetahuan. Mereka berkeyakinan bahwa kafir dan iman itu datang setelah anak itu berakal. Mereka juga berhujah dengan hadis Nabi dari Abu Hurairah tersebut di atas.
كما يُنْتَجُ البهيمة جمعاء هل تحسون فيها جدعاء.
Artinya:
Binatang itu melahirkan binatang dalam keadaan utuh, apakah mereka merasa pada kejadian itu kekurangan?.
Dalam hadis ini hati Bani Adam diumpamakan dengan binatang, sebab dia dilahirkan dalam kejadian yang sempurna, tak ada kekurangan, sesudah itu telinganya terputus, begitu pula hidungnya. Lalu dikatakan ini adalah unta yang dirusak hidungnya dan ini adalah unta yang digunakan untuk nazar dan sebagainya.
Begitu pula keadaan hati anak-anak waktu dilahirkan. Mereka tidak kafir, tidak juga iman, tidak berpengetahuan dan tidak durhaka, tak ubahnya seperti binatang ternak. Tatkala mereka sampai umur setan memperdayakan mereka, maka kebanyakan mereka mengafirkan Tuhan, dan sedikit yang tidak berdosa.
Mereka berpendapat, andaikata anak-anak itu difitrahkan sebagai kafir dan beriman pada permulaannya, tentu mereka tak akan berpindah selama-lamanya dari hal itu. Anak-anak itu adakalanya beriman, kemudian menjadi kafir. Selanjutnya para ahli itu berpendapat bahwa adalah mustahil dan masuk akal seseorang anak di waktu dilahirkan telah tahu iman dan kafir, sebab Allah telah mengeluarkan dari perut ibunya dalam keadaan tak mengetahui sedikitpun.
Allah SWT berfirman:
والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا
Artinya:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. (Q.S. An Nahl: 78)
Siapa yang tak mengetahui sesuatu mustahillah dia akan menjadi kafir. beriman, berpengetahuan atau durhaka.
Abu Umar bin Abdil Barr berkata bahwa pendapat ini adalah arti fitrah yang lebih tepat di mana manusia dilahirkan atasnya. Hujah mereka yang lain ialah firman Allah:
إنما تجزون ما كنتم تعملون
Artinya:
Kami diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. At Tur: 16)
Dan firman Allah SWT:
كل نفس بما كسبت رهينة
Artinya:
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (Q.S. Al Mudassir: 38)
Orang yang belum sampai masanya untuk bekerja tidak akan dihisab.
Dari hal tersebut di atas mustahillah fitrah itu berarti Islam. Seperti yang dikatakan Ibnu Syihab. Sebab Islam dan iman itu ialah perkataan dengan lisan, iktikad dengan hati dan perbuatan dengan anggota tubuh. Hal ini tak ada pada anak kecil. Dan orang yang berakal mengetahui keadaan ini.
Kebanyakan para penyelidik di antaranya Ibnu Atiyah dalam buku tafsirnya di waktu mengartikan fitrah, dan begitu Syekh Abdul Abbas berpendapat sesuai dengan pendapat Umar di atas, lbnu Atiyah dalam tafsirnya berkata bahwa yang dapat dipegangi pada kata "fitrah" ini ialah berarti "kejadian" dan kesediaan untuk menerima sesuatu yang ada dalam jiwa anak itu. Dengan keadaan itu seseorang dapat dibedakan dengan ciptaan-ciptaan Allah SWT yang lain. Dengan fitrah itu seorang anak akan mendapat petunjuk dan percaya kepada Tuhannya. Seakan-akan Tuhan berfirman: "Hadapkanlah mukamu kepada agama yang lurus yaitu fitrah Allah yang disediakan bagi kejadian manusia, tetapi karena banyak hal yang menghalangi mereka, maka mereka tidak mencapai fitrah itu. Dalam sabda Nabi yang artinya: "Tiap anak dilahirkan menurut fitrah. Bapaknya yang akan menjadikan ia seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi". Disebutkan dua orang ibu bapak sebagai contoh dari halangan-halangan yang banyak itu.
Dalam ibadat lain Syekh Abdul Abbas berkata: "Sesungguhnya Allah SWT menjadikan hati anak Adam bersedia menerima kebenaran, sebagaimana mata dan telinga mereka bersedia menerima penglihatan dan pendengaran. Selama menerima itu tetap ada pada hati mereka, tentu mereka akan memperoleh kebenaran dan agama Islam yakni agama yang benar.
Kebanyakan pendapat ini dikuatkan dengan sabda Nabi yang artinya: "Sebagaimana menghasilkan binatang yang utuh. Adakah mereka menghasilkan yang lain? Adakah mereka merasakan kekurangan pendapat padanya?". Maksudnya ialah, binatang itu melahirkan anaknya sempurna kejadiannya tak ada kekurangan. Andaikata dia dibiarkan menurut dasar kejadiannya itu tentu dia akan tetap sempurna, tak ada aibnya. Tetapi dia di atur menurut kehendak manusia, maka rusaklah telinga dan hidungnya dilubangi tempat mengikatkan tali sehingga timbullah padanya keburukan dan kekurangan, lalu tidak sesuai lagi dengan keasliannya. Demikian pulalah keadaannya dengan manusia. Hal itu adalah perumpamaan dari fakta kehidupan.
Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir. Adapun maksud sabda Nabi saw tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik. beliau menjawab: "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui". yaitu apabila mereka berakal. Takwil ini dikuatkan oleh hadis Bukhari dan Samurah bin Jundab dari Nabi saw. yaitu hadis yang panjang. Sebagian dari hadis itu berbunyi sebagai berikut:
وأما الرجل الطويل الذي في روصة فإبراهيم عليه السلام وأما الوِلْدَان فكل مولود يولد على الفطرة. قال: فقيل يا رسول الله, وأولاد المشركين, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: وأولاد المشركين.
Artinya:
Adapun orang yang tinggi itu yang ada di surga adalah Ibrahim as. Adapun anak-anak yang ada di sekitarnya semuanya adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah. Samurah berkata. "Maka Rasulullah ditanya: Ya Rasulullah, tentang anak-anak musyrik? "Rasulullah menjawab: "Dan anak-anak musyrik".
Diriwayatkan dari Anas, katanya: "Ditanya Rasulullah saw tentang anak-anak musyrik, beliau bersabda:
لم تكن لهم حسنات فيُجزوا بها فيكونوا من ملوك الجنة ولم تكن لهم سيئات فيُعاقبوا عليها فيكونوا من أهل النار فهم خدم لأهل الجنة.
Artinya:
Mereka tak mempunyai kebaikan, untuk diberikan ganjaran, lalu akan menjadi raja-raja surga. Mereka tak mempunyai kejelekan untuk dihisab (disiksa) lalu mereka akan berada di antara penduduk neraka. Mereka adalah pelayan-pelayan bagi ahli surga.
Demikianlah beberapa pendapat mengenai kata fitrah dan hubungannya dengan anak kecil yang belum sampai umur. Diduga bahwa pendapat yang agak kuat ialah pendapat terakhir ini, yaitu pendapat Ibnu Atiyah yang disokong oleh Syekh Abdul Abbas.
Kemudian kalimat dalam ayat (30) ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tak ada perubahannya. Allah tak akan merubah fitrah-Nya itu. Tak ada sesuatupun yang menyalahi peraturan itu, maksudnya ialah tidak akan merana orang yang dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya sengsara. Menurut mujahid artinya ialah: "tak ada perubahan bagi agama Allah". Pendapat ini disokong Qatadah, Ibnu Jubair, Dahhak, Ibnu Zaid dan Nakha'i. Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan. Ikrimah berkata; diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Umar bin Khatab berkata yang artinya ialah tak ada perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan. Perkataan ini maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.
Itulah agama yang lurus, maksudnya Ibnu Abbas: "Itulah keputusan yang lurus". Muqatil mengatakan itulah perhitungan yang nyata. Ada yang mengatakan bahwa "agama yang lurus" itu ialah agama Islam.
Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka tak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar. Karena itu mereka tak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan Tuhan yang lebih terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar