dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,(QS. 30:31)
Surah Ar Ruum 31
مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (31)
Ayat ini merupakan jawaban dari ayat (30) tersebut di atas dinyatakan oleh kalimat "Tak ada perubahan bagi agama Allah". Maksudnya ialah agar manusia jangan sekali-kali mencoba merubah agama Allah. Bagaimana tindakan manusia agar dia tidak merubah agama Islam ialah dengan jalan bertobat kepada-Nya. Tapi ada yang menafsirkan bahwa kalimat "Dengan kembali bertobat kepada-Nya itu adalah sebagai keterangan dari kata "luruskan mukamu" tersebut di atas. Maksudnya agar Nabi Muhammad saw meluruskan mukanya dan muka umatnya dengan cara kembali bertobat kepada Allah. Sebab suruhan kepada Nabi saw termasuk suruhan kepada umatnya. Alasannya ialah firman Tuhan yang lain dalam surat At Talaq:
يا أيها النبي إذا طلقتم النساء مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (31)
Ayat ini merupakan jawaban dari ayat (30) tersebut di atas dinyatakan oleh kalimat "Tak ada perubahan bagi agama Allah". Maksudnya ialah agar manusia jangan sekali-kali mencoba merubah agama Allah. Bagaimana tindakan manusia agar dia tidak merubah agama Islam ialah dengan jalan bertobat kepada-Nya. Tapi ada yang menafsirkan bahwa kalimat "Dengan kembali bertobat kepada-Nya itu adalah sebagai keterangan dari kata "luruskan mukamu" tersebut di atas. Maksudnya agar Nabi Muhammad saw meluruskan mukanya dan muka umatnya dengan cara kembali bertobat kepada Allah. Sebab suruhan kepada Nabi saw termasuk suruhan kepada umatnya. Alasannya ialah firman Tuhan yang lain dalam surat At Talaq:
Artinya:
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu. (Q.S. At Talaq: 1)
Dalam ayat ini walaupun pembicaraan ditujukan kepada Nabi, tetapi juga berlaku bagi umatnya.
Kemudian ayat ini menyuruh manusia bertobat kepada Allah ini dihubungkan dengan suruhan agar manusia bertakwa kepada-Nya. dan mendirikan salat dan larangan menjadi orang-orang musyrik
Kembali kepada Allah ialah cara yang baik untuk memperbaiki fitrah tadi dan menjauhi segala rintangan yang mungkin menghalanginya.
Di sini perintah bertakwa didahulukan dari perintah mendirikan salat, karena salat itu termasuk salah satu tanda-tanda yang pokok dari orang yang bertakwa. Salat dan ibadat lain apa saja, tidak akan ada hasilnya, kecuali atas dasar iman dengan Allah, merasakan kekuasaan dan ketinggian-Nya. Dalam hal ini Tuhan berfirman:
قد أفلح المؤمنون الذين هم في صلاتهم خاشعون
Artinya:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya. (Q.S. Al Mu'minun: 1-2)
Dan ibadah itu juga tidak ada artinya kalau tak disertai dengan ikhlas. Karena itulah ayat ini diakhiri dengan keharusan ikhlas dalam beribadat agar kaum Muslimin tidak menjadi orang-orang musyrik.
yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.(QS. 30:32)
Surah Ar Ruum 32
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (32)
(Yaitu orang-orang) lafal ayat ini merupakan badal dari lafal minal musyrikiin berikut pengulangan huruf jarnya (yang memecah belah agamanya) disebabkan perselisihan mereka dalam apa yang mereka sembah (dan mereka menjadi beberapa golongan) menjadi bersekte-sekte dalam beragama. (Tiap-tiap golongan) dari kalangan mereka (dengan apa yang ada pada golongan mereka) maksudnya apa yang ada pada diri mereka (merasa bangga) yakni membanggakannya. Menurut qiraat yang lain lafal farraquu itu dibaca faraquu artinya mereka meninggalkan agama yang mereka diperintahkan untuk menjalankannya.
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (32)
(Yaitu orang-orang) lafal ayat ini merupakan badal dari lafal minal musyrikiin berikut pengulangan huruf jarnya (yang memecah belah agamanya) disebabkan perselisihan mereka dalam apa yang mereka sembah (dan mereka menjadi beberapa golongan) menjadi bersekte-sekte dalam beragama. (Tiap-tiap golongan) dari kalangan mereka (dengan apa yang ada pada golongan mereka) maksudnya apa yang ada pada diri mereka (merasa bangga) yakni membanggakannya. Menurut qiraat yang lain lafal farraquu itu dibaca faraquu artinya mereka meninggalkan agama yang mereka diperintahkan untuk menjalankannya.
Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertaubat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat daripada-Nya, tiba-tiba sebahagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya,(QS. 30:33)
Surah Ar Ruum 33
وَإِذَا مَسَّ النَّاسَ ضُرٌّ دَعَوْا رَبَّهُمْ مُنِيبِينَ إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا أَذَاقَهُمْ مِنْهُ رَحْمَةً إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ بِرَبِّهِمْ يُشْرِكُونَ (33)
Ayat ini mengisyaratkan kepada manusia tentang adanya fitrah yang diberikan Allah kepada mereka. Dengan dasar fitrah itulah manusia diciptakan. Fitrah itu berbeda-beda pada manusia, mereka dilahirkan dengan fitrah itu seperti bentuknya sekarang. Mereka mempunyai anggota tubuh, kekuatan akal, segi kejiwaan dan kerohanian. Manusia hidup dengan fitrahnya itu. Sesuai dengan fitrahnya itu masing-masing, maka mereka mempunyai bentuk beraneka ragam, seperti mempunyai warna kulit, bentuk tubuh, bahasa, kekuatan akal, dan perasaan yang bermacam-macam.
Ada suatu keadaan pada waktu itu fitrah itu kembali kepada asalnya pada sekalian manusia, walaupun fitrah itu telah rusak dengan kekafiran atau kesesatan. Keadaan itu ialah manusia ditimpa malapetaka dan dilanda kemalangan, di waktu manusia itu kembali kepada fitrahnya. Atau dengan kata lain fitrahnya kembali kepadanya, yaitu tanpa perhitungan dan pertimbangan manusia kepada Tuhan dan berlindung kepada Nya dengan sesungguh hati, agar dia dihindarkan dari bencana dan malapetaka itu.
Dalam cobaan pahit yang dilalui oleh setiap manusia dalam kehidupan itu, terdapat sebuah saksi yang ada pada tubuhnya, yang menyaksikan bahwa Allah itu beserta manusia setiap waktu. Allah itu ada dalam hati orang kafir dan musyrik, walaupun dia mengingkari hal itu atau tidak mau mengakui. Tetapi apabila manusia ditimpa kemalangan dan kemelaratan kesadaran timbul dalam hatinya, cahaya kebenaran memancar dalam jiwanya, waktu itu dia mengetahui Allah dan memanjatkan doa kepada Nya. Tetapi cahaya kebenaran cepat sekali hilang darinya, apabila segala kemelaratan dan kesenangan itu telah lenyap darinya. Dengan tiba-tiba dia kembali seperti sediakala dengan kekafiran dan kesesatannya.
Tuhan berfirman bahwa apabila manusia itu ditimpa oleh kemalangan, dia menyeru Tuhan dengan kembali bertobat kepada Nya. Firman Tuhan ini merupakan ketetapan dari kenyataan tersebut di atas. Sekalian manusia, apakah mereka beriman atau kafir akan minta perlindungan pada Allah serta bermohon kepada-Nya, apabila datang kepada mereka marabahaya, dan kesengsaraan. Setelah malapetaka itu lenyap, keadaan menjadi berbeda kembali seperti sediakala. Orang-orang mukmin terus berhubungan dengan Allah SWT, apakah mereka berada dalam kegembiraan atau dalam kemelaratan. Mereka selalu beriman dan setia kepada-Nya dalam keadaan suka dan duka. Adapun orang-orang yang tak beriman, mereka tidak mengetahui Allah dan tidak percaya dengan-Nya, kecuali ketika kesengsaraan menimpa mereka dari segala penjuru.
Di waktu itu mereka menyeru Allah dengan seikhlas-ikhlasnya, sebagaimana Firaun menyeru Tuhannnya dan beriman dengan-Nya ketika dia mengetahui bahwa dia akan tenggelam ke dalam lautan.
Dan firman Tuhan: "Kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat daripada-Nya, tiba-tiba sebagian dari pada mereka mempersekutukan Tuhannya ini", ini merupakan gambaran bagi orang-orang kafir itu, ketika kesengsaraan dilenyapkan dari mereka, dan rahmat Allah dapat mereka rasakan. Mereka baru saja terlepas dari malapetaka, sehingga mereka lupa akan Tuhan yang mereka seru sebelumnya, seakan-akan antara Allah dan mereka tak ada hubungan sama sekali.
Firman Tuhan tersebut di atas dengan yang sebelumnya dihubungkan dengan kata "kemudian". Kata ini yang menghubungkan antara ketakutan dan berdoa kepada Allah untuk pertolongan dan pengabulan. Doa itu, merupakan suatu petunjuk bahwa bukan semua pertolongan diberikan kepada yang minta tolong itu. Hal itu tergantung kepada takdir dan hikmah Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Kemudian terkabulnya doa itu, apabila dikabulkan, bukan terjadi menurut masa yang dikehendaki manusia, bukan pula menurut bentuk yang dikehendakinya. Hal itu juga tergantung kepada takdir Ilahi, ilmu dan hikmah-Nya. Dengan demikian hamba-hamba diuji Allah. Orang-orang yang beriman berdoa kepada Allah dengan penuh harapan dan taat. Mereka selamanya tak pernah putus asa dari rahmat Allah, walaupun doa mereka dikabulkan, malahan mungkin terjadi apa yang mereka benci. Yang dibenci itu akan mereka sukai, sebab hal itu datangnya dari Allah, dengan takdir dan kehendak-Nya jua. Adapun orang yang tak beriman, hal itu akan menambah kekafiran dan kesesatan mereka. Mereka akan lepas berputus asa.
Dan kata "tiba-tiba" dalam ungkapan "tiba-tiba sebagian daripada mereka mempersekutukan Tuhannya", mempunyai dua isyarat.
Pertama, bersegeranya orang-orang musyrik yang sesat itu, dan cepatnya mereka kembali kepada keadaan semula kepada kemusyrikan dan kekafiran.
Kedua, keadaan itu adalah jalan ke luar tanpa ditunggu dari kaum yang baru saja menghadapkan muka kepada Allah, kemudian mereka memalingkan muka dari-Nya, bukan karena sesuatu, kecuali karena Allah telah memberikan rahmat-Nya kepada mereka. Hal ini membangkitkan keheranan dan keanehan. Apakah begitu caranya membalas budi baik?. Tapi kapan lagi mereka yang buta dapat melihat kebenaran, dan yang tuli itu dapat mendengar petunjuk.
Dihubungkannya kata musyrik dengan kata Tuhan dalam ungkapan "Tuhan mereka", merupakan suatu isyarat bahwa kelaliman yang telah dilakukan oleh kaum musyrik itu jelek sekali. Mereka mengingkari nikmat Tuhan yang telah mengabulkan doa mereka, dan melenyapkan bencana dan mereka.
وَإِذَا مَسَّ النَّاسَ ضُرٌّ دَعَوْا رَبَّهُمْ مُنِيبِينَ إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا أَذَاقَهُمْ مِنْهُ رَحْمَةً إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ بِرَبِّهِمْ يُشْرِكُونَ (33)
Ayat ini mengisyaratkan kepada manusia tentang adanya fitrah yang diberikan Allah kepada mereka. Dengan dasar fitrah itulah manusia diciptakan. Fitrah itu berbeda-beda pada manusia, mereka dilahirkan dengan fitrah itu seperti bentuknya sekarang. Mereka mempunyai anggota tubuh, kekuatan akal, segi kejiwaan dan kerohanian. Manusia hidup dengan fitrahnya itu. Sesuai dengan fitrahnya itu masing-masing, maka mereka mempunyai bentuk beraneka ragam, seperti mempunyai warna kulit, bentuk tubuh, bahasa, kekuatan akal, dan perasaan yang bermacam-macam.
Ada suatu keadaan pada waktu itu fitrah itu kembali kepada asalnya pada sekalian manusia, walaupun fitrah itu telah rusak dengan kekafiran atau kesesatan. Keadaan itu ialah manusia ditimpa malapetaka dan dilanda kemalangan, di waktu manusia itu kembali kepada fitrahnya. Atau dengan kata lain fitrahnya kembali kepadanya, yaitu tanpa perhitungan dan pertimbangan manusia kepada Tuhan dan berlindung kepada Nya dengan sesungguh hati, agar dia dihindarkan dari bencana dan malapetaka itu.
Dalam cobaan pahit yang dilalui oleh setiap manusia dalam kehidupan itu, terdapat sebuah saksi yang ada pada tubuhnya, yang menyaksikan bahwa Allah itu beserta manusia setiap waktu. Allah itu ada dalam hati orang kafir dan musyrik, walaupun dia mengingkari hal itu atau tidak mau mengakui. Tetapi apabila manusia ditimpa kemalangan dan kemelaratan kesadaran timbul dalam hatinya, cahaya kebenaran memancar dalam jiwanya, waktu itu dia mengetahui Allah dan memanjatkan doa kepada Nya. Tetapi cahaya kebenaran cepat sekali hilang darinya, apabila segala kemelaratan dan kesenangan itu telah lenyap darinya. Dengan tiba-tiba dia kembali seperti sediakala dengan kekafiran dan kesesatannya.
Tuhan berfirman bahwa apabila manusia itu ditimpa oleh kemalangan, dia menyeru Tuhan dengan kembali bertobat kepada Nya. Firman Tuhan ini merupakan ketetapan dari kenyataan tersebut di atas. Sekalian manusia, apakah mereka beriman atau kafir akan minta perlindungan pada Allah serta bermohon kepada-Nya, apabila datang kepada mereka marabahaya, dan kesengsaraan. Setelah malapetaka itu lenyap, keadaan menjadi berbeda kembali seperti sediakala. Orang-orang mukmin terus berhubungan dengan Allah SWT, apakah mereka berada dalam kegembiraan atau dalam kemelaratan. Mereka selalu beriman dan setia kepada-Nya dalam keadaan suka dan duka. Adapun orang-orang yang tak beriman, mereka tidak mengetahui Allah dan tidak percaya dengan-Nya, kecuali ketika kesengsaraan menimpa mereka dari segala penjuru.
Di waktu itu mereka menyeru Allah dengan seikhlas-ikhlasnya, sebagaimana Firaun menyeru Tuhannnya dan beriman dengan-Nya ketika dia mengetahui bahwa dia akan tenggelam ke dalam lautan.
Dan firman Tuhan: "Kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat daripada-Nya, tiba-tiba sebagian dari pada mereka mempersekutukan Tuhannya ini", ini merupakan gambaran bagi orang-orang kafir itu, ketika kesengsaraan dilenyapkan dari mereka, dan rahmat Allah dapat mereka rasakan. Mereka baru saja terlepas dari malapetaka, sehingga mereka lupa akan Tuhan yang mereka seru sebelumnya, seakan-akan antara Allah dan mereka tak ada hubungan sama sekali.
Firman Tuhan tersebut di atas dengan yang sebelumnya dihubungkan dengan kata "kemudian". Kata ini yang menghubungkan antara ketakutan dan berdoa kepada Allah untuk pertolongan dan pengabulan. Doa itu, merupakan suatu petunjuk bahwa bukan semua pertolongan diberikan kepada yang minta tolong itu. Hal itu tergantung kepada takdir dan hikmah Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Kemudian terkabulnya doa itu, apabila dikabulkan, bukan terjadi menurut masa yang dikehendaki manusia, bukan pula menurut bentuk yang dikehendakinya. Hal itu juga tergantung kepada takdir Ilahi, ilmu dan hikmah-Nya. Dengan demikian hamba-hamba diuji Allah. Orang-orang yang beriman berdoa kepada Allah dengan penuh harapan dan taat. Mereka selamanya tak pernah putus asa dari rahmat Allah, walaupun doa mereka dikabulkan, malahan mungkin terjadi apa yang mereka benci. Yang dibenci itu akan mereka sukai, sebab hal itu datangnya dari Allah, dengan takdir dan kehendak-Nya jua. Adapun orang yang tak beriman, hal itu akan menambah kekafiran dan kesesatan mereka. Mereka akan lepas berputus asa.
Dan kata "tiba-tiba" dalam ungkapan "tiba-tiba sebagian daripada mereka mempersekutukan Tuhannya", mempunyai dua isyarat.
Pertama, bersegeranya orang-orang musyrik yang sesat itu, dan cepatnya mereka kembali kepada keadaan semula kepada kemusyrikan dan kekafiran.
Kedua, keadaan itu adalah jalan ke luar tanpa ditunggu dari kaum yang baru saja menghadapkan muka kepada Allah, kemudian mereka memalingkan muka dari-Nya, bukan karena sesuatu, kecuali karena Allah telah memberikan rahmat-Nya kepada mereka. Hal ini membangkitkan keheranan dan keanehan. Apakah begitu caranya membalas budi baik?. Tapi kapan lagi mereka yang buta dapat melihat kebenaran, dan yang tuli itu dapat mendengar petunjuk.
Dihubungkannya kata musyrik dengan kata Tuhan dalam ungkapan "Tuhan mereka", merupakan suatu isyarat bahwa kelaliman yang telah dilakukan oleh kaum musyrik itu jelek sekali. Mereka mengingkari nikmat Tuhan yang telah mengabulkan doa mereka, dan melenyapkan bencana dan mereka.
sehingga mereka mengingkari akan rahmat yang telah Kami berikan kepada mereka. Maka bersenang-senanglah kamu sekalian, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu).(QS. 30:34)
- Surah Ar Ruum 34
لِيَكْفُرُوا بِمَا آتَيْنَاهُمْ فَتَمَتَّعُوا فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ (34)
Ayat ini merupakan ancaman bagi kaum musyrik yang tak tahu membalas nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka, malahan mereka kembali kepada kemusyrikan mereka semula. Orang-orang musyrik itu mengakui datangnya nikmat dari Allah itu, tetapi tidak menghubungkannya kepada-Nya, bahkan menjadikannya menyembah selain dari pada Allah.
Kemudian pembicaraan dari kaum musyrik pada umumnya pindah kepada pribadi-pribadi musyrik Mekah yang menentang risalah Muhammad saw. Karena itu pembicaraan pada kalimat kedua ayat (33) ini dalam bentuk orang kedua jamak. Pembicaraan itu ditujukan kepada mereka. Kalimat itu berbunyi: "Maka bersenang-senanglah kamu sekalian, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu)".
Kalimat ini merupakan ancaman yang menakutkan dan membahayakan. Sesungguhnya manusia itu sangat takut menghadapi ancaman dari seorang penguasa atau seorang presiden. Kalau ancaman itu datangnya dari Tuhan yang menjadikan langit dan bumi, tentu rasa takut yang diakibatkannya lebih besar dan sangat mengerikan.
Sesudah menyampaikan kepada kaum musyrik ancaman yang menakutkan itu, dalam ayat ini Allah kembali bertanya kepada mereka tentang sebab keingkaran mereka dan sandaran akidah syirik yang berarti menganggap enteng nikmat dan rahmat Allah.
Sesungguhnya tak pantaslah bagi manusia menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan akidahnya, kecuali yang menetapkan itu adalah Allah. Dalam ayat ini seakan-akan Allah bertanya: "Apakah Kami akan menurunkan kepada mereka hujah yang sangat kuat yang akan mengakui kemusyrikan yang mereka anut itu?". Kalimat ini merupakan penanyaan ejekan yang mengungkapkan kelemahan akidah syirik itu, yang tidak disandarkan kepada hujah yang kuat dan tidak didasarkan atas dalil yang jitu. Mereka mempersekutukan Allah apa hujah yang ada pada mereka dengan kemusyrikan itu?. Apakah Tuhan akan menurunkan sebuah kitab yang akan memaparkan kesesatan mereka itu? Atau apakah ada pada mereka seorang Rasul dari Allah yang menyerukan agama yang mereka anut itu?. Apa hujah mereka untuk menyembah sembahan-sembahan mereka itu?. Mereka dituntut mengemukakan dalil yang berdasarkan akal pikiran yang benar, atau kitab atau Rasul atau sembahan-sembahan itu. Jika hujah itu tidak ada, maka hal itu adalah sesat.
Tuhan berfirman:
ومن يدع مع الله إلها آخر لا برهان له به فإنما حسابه عند ربه إنه لا يفلح الكافرون
Artinya:
Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya, sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. (Q.S. Al Mu'minun: 117)
Di samping pernyataan di atas dikemukakan untuk mengejek sikap mereka, maka pernyataan Allah itu juga dimaksudkan untuk menegaskan kepada mereka dan menetapkan bahwa tidak ada sesuatu akidah yang benar kecuali yang datang dan Allah SWT.
Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan, lalu keterangan itu menunjukkan (kebenaran) apa yang mereka selalu mempersekutukan dengan Tuhan?(QS. 30:35)
Surah Ar Ruum 35
أَمْ أَنْزَلْنَا عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا فَهُوَ يَتَكَلَّمُ بِمَا كَانُوا بِهِ يُشْرِكُونَ (35)
Ayat ini menerangkan sifat lain kaum musyrik itu sifat manusia yang pada umumnya bergembira ketika mereka menerima nikmat dan putus asa di kala menderita kesusahan.
Begitulah keadaan jiwa yang tidak dihubungkan dengan tali yang teguh yaitu tali Allah, dan keadaan jiwa yang mengukur segala persoalan dengan ukuran materi semata. Jiwa yang seperti itu akan mengalami kegoncangan dengan adanya perubahan-perubahan. Manusia yang dimaksud di sini ialah segala manusia yang tidak menghubungkan jiwa mereka dengan tali Allah dan tidak juga menimbang dengan timbangan yang cermat. Mereka gembira dengan kedatangan nikmat dan merasa puas dengannya, Nikmat itu menjadikan mereka lupa akan sumber dan hikmahnya. Mereka tenggelam bersama nikmat itu, tidak mensyukuri yang memberinya, dan tidak sadar bahwa nikmat itu adalah sebagian ujian dan cobaan belaka. Sehingga jika Allah menghendaki, nikmat itu akan dicabut dari mereka dengan sepengetahuan mereka, maka mereka akan merasakan keadaan pahit. Dalam keadaan ini mereka juga buta, bahwa hal itu adalah cobaan bagi mereka dan dalam kepahitan itu ada terkandung hikmah yang tinggi bagi mereka. Mereka seakan-akan tidak mempunyai harapan lagi bahwa Tuhan akan menghilangkan kesengsaraan itu. Mereka menjadi putus asa dari rahmat Allah. Demikianlah keadaan hati yang putus hubungannya dengan Allah, yang tak mengetahui Sunah dan hikmah Nya. Mereka adalah orang-orang yang tak mengetahui, mereka hanya mengetahui keadaan lahir saja dari kehidupan dunia ini.
Orang putus asa dan gelisah itu digambarkan keadaan mereka dalam ayat yang lain:
إن الإنسان خلق هلوعا إذا مسه الشر جزوعا وإذا مسه الخير منوعا إلا المصلين
Artinya:
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir kecuali orang-orang yang mengerjakan salat. (Q.S. Al Ma'arij: 19-22)
Dalam sebuah hadis sahih Nabi saw bersabda:
عجبا للمؤمنين لا يقضي الله له قضاء إلا كان خيرا له إن أصابته سرّاء شكر فكان خيرا له, وإن أصابته ضرّاء صبر فكان خيرا له.
Artinya:
Adalah aneh keadaan orang mukmin itu, Allah tidak akan memutuskan sesuatu keputusan kecuali yang baik baginya. Jika dia ditimpa kegembiraan dia berterima kasih, hal itu adalah baik baginya. Jika dia ditimpa kemalangan dia bersabar, hal itu adalah baik baginya. (Hadis sahih dalam buku Tafsir Maragi Juz 21 hal, 50)
أَمْ أَنْزَلْنَا عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا فَهُوَ يَتَكَلَّمُ بِمَا كَانُوا بِهِ يُشْرِكُونَ (35)
Ayat ini menerangkan sifat lain kaum musyrik itu sifat manusia yang pada umumnya bergembira ketika mereka menerima nikmat dan putus asa di kala menderita kesusahan.
Begitulah keadaan jiwa yang tidak dihubungkan dengan tali yang teguh yaitu tali Allah, dan keadaan jiwa yang mengukur segala persoalan dengan ukuran materi semata. Jiwa yang seperti itu akan mengalami kegoncangan dengan adanya perubahan-perubahan. Manusia yang dimaksud di sini ialah segala manusia yang tidak menghubungkan jiwa mereka dengan tali Allah dan tidak juga menimbang dengan timbangan yang cermat. Mereka gembira dengan kedatangan nikmat dan merasa puas dengannya, Nikmat itu menjadikan mereka lupa akan sumber dan hikmahnya. Mereka tenggelam bersama nikmat itu, tidak mensyukuri yang memberinya, dan tidak sadar bahwa nikmat itu adalah sebagian ujian dan cobaan belaka. Sehingga jika Allah menghendaki, nikmat itu akan dicabut dari mereka dengan sepengetahuan mereka, maka mereka akan merasakan keadaan pahit. Dalam keadaan ini mereka juga buta, bahwa hal itu adalah cobaan bagi mereka dan dalam kepahitan itu ada terkandung hikmah yang tinggi bagi mereka. Mereka seakan-akan tidak mempunyai harapan lagi bahwa Tuhan akan menghilangkan kesengsaraan itu. Mereka menjadi putus asa dari rahmat Allah. Demikianlah keadaan hati yang putus hubungannya dengan Allah, yang tak mengetahui Sunah dan hikmah Nya. Mereka adalah orang-orang yang tak mengetahui, mereka hanya mengetahui keadaan lahir saja dari kehidupan dunia ini.
Orang putus asa dan gelisah itu digambarkan keadaan mereka dalam ayat yang lain:
إن الإنسان خلق هلوعا إذا مسه الشر جزوعا وإذا مسه الخير منوعا إلا المصلين
Artinya:
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir kecuali orang-orang yang mengerjakan salat. (Q.S. Al Ma'arij: 19-22)
Dalam sebuah hadis sahih Nabi saw bersabda:
عجبا للمؤمنين لا يقضي الله له قضاء إلا كان خيرا له إن أصابته سرّاء شكر فكان خيرا له, وإن أصابته ضرّاء صبر فكان خيرا له.
Artinya:
Adalah aneh keadaan orang mukmin itu, Allah tidak akan memutuskan sesuatu keputusan kecuali yang baik baginya. Jika dia ditimpa kegembiraan dia berterima kasih, hal itu adalah baik baginya. Jika dia ditimpa kemalangan dia bersabar, hal itu adalah baik baginya. (Hadis sahih dalam buku Tafsir Maragi Juz 21 hal, 50)
Dan apabila Kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. Dan apabila mereka ditimpa sesuatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka berputus asa.(QS. 30:36)
Surah Ar Ruum 36
وَإِذَا أَذَقْنَا النَّاسَ رَحْمَةً فَرِحُوا بِهَا وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ إِذَا هُمْ يَقْنَطُونَ (36)
Ayat ini mengomentari ayat tersebut di atas dengan pertanyaan yang tujuannya untuk mengejek tindakan mereka itu, sebab sifat mereka dianggap aneh, dan sebab piciknya pandangan dan butanya mata mereka. Persoalan suka dan duka itu adalah menurut aturan yang tetap. Hal itu bertitik tolak dari kehendak Allah SWT.
Dialah yang memberi nikmat dengan kasih sayang-Nya dan mencoba dengan kesengsaraan, memberikan rezeki yang tak terhingga kepada seseorang dan membatasinya pada orang lain, sesuai dengan Sunahnya, dan sesuai pula dengan hikmahnya. Inilah yang terjadi pada setiap waktu, tetapi mereka tidak mengetahui. Dalam ayat ini Allah SWT menetapkan bahwa manusia itu tidak dijadikan sama dalam menerima rezeki di atas dunia ini.
Allah SWT berfirman:
نحن قسمنا بينهم معيشتهم في الحياة الدنيا ورفعنا بعضهم فوق بعض درجات ليتخذ بعضهم بعضا سخريا
Artinya:
Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. (Q.S. Az Zukhruf: 32)
وَإِذَا أَذَقْنَا النَّاسَ رَحْمَةً فَرِحُوا بِهَا وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ إِذَا هُمْ يَقْنَطُونَ (36)
Ayat ini mengomentari ayat tersebut di atas dengan pertanyaan yang tujuannya untuk mengejek tindakan mereka itu, sebab sifat mereka dianggap aneh, dan sebab piciknya pandangan dan butanya mata mereka. Persoalan suka dan duka itu adalah menurut aturan yang tetap. Hal itu bertitik tolak dari kehendak Allah SWT.
Dialah yang memberi nikmat dengan kasih sayang-Nya dan mencoba dengan kesengsaraan, memberikan rezeki yang tak terhingga kepada seseorang dan membatasinya pada orang lain, sesuai dengan Sunahnya, dan sesuai pula dengan hikmahnya. Inilah yang terjadi pada setiap waktu, tetapi mereka tidak mengetahui. Dalam ayat ini Allah SWT menetapkan bahwa manusia itu tidak dijadikan sama dalam menerima rezeki di atas dunia ini.
Allah SWT berfirman:
نحن قسمنا بينهم معيشتهم في الحياة الدنيا ورفعنا بعضهم فوق بعض درجات ليتخذ بعضهم بعضا سخريا
Artinya:
Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. (Q.S. Az Zukhruf: 32)
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.(QS. 30:37)
Surah Ar Ruum 37
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (37)
Rezeki itu berada di tangan Allah. Dia memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Hal itu diketahui oleh orang-orang yang percaya kepada Allah dan rida dengan apa yang telah dibagikan Allah terhadap mereka. Seorang mukmin tidak menganggap enteng rezeki yang diberikan kepadanya, begitu juga dia tidak bersedih dan tak putus asa, apabila Allah membatasi rezekinya itu. Karena itulah ayat ini ditutup dengan kalimat yang menyatakan bahwa; hal yang seperti itu adalah sebagian tanda bagi kaum yang beriman. Adapun orang yang tak beriman, mereka tak melihat tanda Allah pada keadaan yang seperti itu.
Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Ar Ruum 37
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (37)
(Dan apakah mereka tidak memperhatikan) tidak mengetahui (bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezeki) meluaskannya (bagi siapa yang dikehendaki-Nya) sebagai ujian (dan Dia pula yang membatasinya) yang menyempitkannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya sebagai cobaan buatnya. (Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang percaya) pada tanda-tanda kekuasaan Allah itu.
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (37)
Rezeki itu berada di tangan Allah. Dia memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Hal itu diketahui oleh orang-orang yang percaya kepada Allah dan rida dengan apa yang telah dibagikan Allah terhadap mereka. Seorang mukmin tidak menganggap enteng rezeki yang diberikan kepadanya, begitu juga dia tidak bersedih dan tak putus asa, apabila Allah membatasi rezekinya itu. Karena itulah ayat ini ditutup dengan kalimat yang menyatakan bahwa; hal yang seperti itu adalah sebagian tanda bagi kaum yang beriman. Adapun orang yang tak beriman, mereka tak melihat tanda Allah pada keadaan yang seperti itu.
Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Ar Ruum 37
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (37)
(Dan apakah mereka tidak memperhatikan) tidak mengetahui (bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezeki) meluaskannya (bagi siapa yang dikehendaki-Nya) sebagai ujian (dan Dia pula yang membatasinya) yang menyempitkannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya sebagai cobaan buatnya. (Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang percaya) pada tanda-tanda kekuasaan Allah itu.
Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung.(QS. 30:38)
Surah Ar Ruum 38
فَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (38)
Ayat ini merupakan penjelasan atas ayat 37 di atas. Sebab apabila manusia mengetahui dengan yakin bahwa segala sesuatu itu berada di tangan Allah, dan bahwa Dialah yang menentukan rezeki-rezeki kepada hamba-hamba-Nya, apabila manusia mengetahui hal ini, tentu dia akan menjadi orang pemurah yang suka berbuat baik memberikan sebagian harta mereka yang diberikan Allah SWT kepadanya. Pemberian itu terutama ditujukan kepada yang dekat hubungannya dengan Si pemberi, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan lain-lain. Sebab sebaik-baik sedekah ialah yang ditujukan kepada keluarga terdekat. Nabi saw lebih mengutamakan sedekah kepada keluarga dekat dari pada memerdekakan budak. Allah telah mewajibkan pemberian sedekah itu kepada mereka.
Manusia itu ada dua macam.
Pertama ialah manusia yang mengetahui bahwa harta yang dimilikinya itu bukanlah miliknya, dan bahwa usaha dan kerja kerasnya tidak akan berhasil kecuali jika ditakdirkan Allah baginya.
Kedua ialah manusia yang berpendapat bahwa harta yang dikumpulkannya itu adalah hasil usaha dan kerja kerasnya, walaupun harta itu harta warisan.
Manusia yang pertama tidak bakhil dengan harta bendanya. Dan tidak akan segan memberikan hak-hak yang harus dilaksanakan di jalan Allah. Sebab dia tahu bahwa apa yang diberikannya itu adalah pemberian Tuhannya. Dia akan menggunakan harta itu dengan baik, dan melaksanakan apa yang disuruh Allah terhadapnya mengenai harta itu. Dia melihat harta itu menurut apa yang diisyaratkan Allah kepadanya dalam firman-Nya.
وأنفقوا مما جعلكم مستخلفين فيه
Artinya:
Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. (Q.S. Hadid: 7)
Jadi manusia menurut ayat ini adalah wakil (khalifah) Allah di atas bumi ini terutama berkenaan dengan harta yang diberikan Allah kepadanya. Bagi seorang wakil tak pantas membantah perintah orang yang diwakilinya, apalagi jika yang diwakili itu Tuhan.
Adapun manusia kedua berpendapat bahwa harta yang ada padanya, adalah hasil jerih payahnya. Dia memandang harta benda yang dimilikinya itu sebagai miliknya semata-mata. Dia tak melihat bahwa pada hartanya itu tidak ada kewajiban sosial yang harus dilaksanakannya. Demikianlah yang dilakukan oleh Qarun. Dia menjawab, ketika orang menyuruhnya berbuat baik dengan apa yang diberikan Allah kepadanya, dengan perkataan:
إنما أوتيته على علم عندي
Artinya:
Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku. (Q.S. Al Qasas: 78)
Allah menyatakan bahwa pemberian sedekah kepada kaum kerabat, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan lain-lain, adalah lebih baik bagi orang yang menginginkan wajah Allah. Artinya, pemberian harta benda dengan cara yang demikian itu adalah Iebih baik bagi orang-orang yang menghendaki wajah Allah dengan harta yang mereka berikan itu, serta mencari keridaan dan mematuhi perintah-Nya. Mereka itulah orang-orang yang betul-betul beriman. Adapun orang yang tak beriman, walaupun mereka membelanjakan harta dengan cara demikian, tidak akan mendapat kebaikan, sebab mereka mengerjakan hal itu bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu kepentingan duniawi atau karena kehendak dari mereka sendiri.
Itulah orang-orang yang pertama dan itulah orang-orang yang menang yaitu orang-orang yang menafkahkan harta mereka dengan keimanan dan mencari wajah Allah dengannya, Pemberian seperti itu diterima Allah, seperti tersebut dalam firman Allah SWT:
إنما يتقبل الله من المتقين
Artinya:
Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al Maidah: 27)
Dan firman Allah lagi:
وما أموالكم ولا أولادكم بالتي تقربكم عندنا زلفى إلا من آمن وعمل صالحا فأولئك لهم جزاء الضعف بما عملوا وهم في الغرفات آمنون
Artinya:
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga). (Q.S. Saba: 37)
فَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (38)
Ayat ini merupakan penjelasan atas ayat 37 di atas. Sebab apabila manusia mengetahui dengan yakin bahwa segala sesuatu itu berada di tangan Allah, dan bahwa Dialah yang menentukan rezeki-rezeki kepada hamba-hamba-Nya, apabila manusia mengetahui hal ini, tentu dia akan menjadi orang pemurah yang suka berbuat baik memberikan sebagian harta mereka yang diberikan Allah SWT kepadanya. Pemberian itu terutama ditujukan kepada yang dekat hubungannya dengan Si pemberi, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan lain-lain. Sebab sebaik-baik sedekah ialah yang ditujukan kepada keluarga terdekat. Nabi saw lebih mengutamakan sedekah kepada keluarga dekat dari pada memerdekakan budak. Allah telah mewajibkan pemberian sedekah itu kepada mereka.
Manusia itu ada dua macam.
Pertama ialah manusia yang mengetahui bahwa harta yang dimilikinya itu bukanlah miliknya, dan bahwa usaha dan kerja kerasnya tidak akan berhasil kecuali jika ditakdirkan Allah baginya.
Kedua ialah manusia yang berpendapat bahwa harta yang dikumpulkannya itu adalah hasil usaha dan kerja kerasnya, walaupun harta itu harta warisan.
Manusia yang pertama tidak bakhil dengan harta bendanya. Dan tidak akan segan memberikan hak-hak yang harus dilaksanakan di jalan Allah. Sebab dia tahu bahwa apa yang diberikannya itu adalah pemberian Tuhannya. Dia akan menggunakan harta itu dengan baik, dan melaksanakan apa yang disuruh Allah terhadapnya mengenai harta itu. Dia melihat harta itu menurut apa yang diisyaratkan Allah kepadanya dalam firman-Nya.
وأنفقوا مما جعلكم مستخلفين فيه
Artinya:
Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. (Q.S. Hadid: 7)
Jadi manusia menurut ayat ini adalah wakil (khalifah) Allah di atas bumi ini terutama berkenaan dengan harta yang diberikan Allah kepadanya. Bagi seorang wakil tak pantas membantah perintah orang yang diwakilinya, apalagi jika yang diwakili itu Tuhan.
Adapun manusia kedua berpendapat bahwa harta yang ada padanya, adalah hasil jerih payahnya. Dia memandang harta benda yang dimilikinya itu sebagai miliknya semata-mata. Dia tak melihat bahwa pada hartanya itu tidak ada kewajiban sosial yang harus dilaksanakannya. Demikianlah yang dilakukan oleh Qarun. Dia menjawab, ketika orang menyuruhnya berbuat baik dengan apa yang diberikan Allah kepadanya, dengan perkataan:
إنما أوتيته على علم عندي
Artinya:
Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku. (Q.S. Al Qasas: 78)
Allah menyatakan bahwa pemberian sedekah kepada kaum kerabat, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan lain-lain, adalah lebih baik bagi orang yang menginginkan wajah Allah. Artinya, pemberian harta benda dengan cara yang demikian itu adalah Iebih baik bagi orang-orang yang menghendaki wajah Allah dengan harta yang mereka berikan itu, serta mencari keridaan dan mematuhi perintah-Nya. Mereka itulah orang-orang yang betul-betul beriman. Adapun orang yang tak beriman, walaupun mereka membelanjakan harta dengan cara demikian, tidak akan mendapat kebaikan, sebab mereka mengerjakan hal itu bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu kepentingan duniawi atau karena kehendak dari mereka sendiri.
Itulah orang-orang yang pertama dan itulah orang-orang yang menang yaitu orang-orang yang menafkahkan harta mereka dengan keimanan dan mencari wajah Allah dengannya, Pemberian seperti itu diterima Allah, seperti tersebut dalam firman Allah SWT:
إنما يتقبل الله من المتقين
Artinya:
Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al Maidah: 27)
Dan firman Allah lagi:
وما أموالكم ولا أولادكم بالتي تقربكم عندنا زلفى إلا من آمن وعمل صالحا فأولئك لهم جزاء الضعف بما عملوا وهم في الغرفات آمنون
Artinya:
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga). (Q.S. Saba: 37)
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).(QS. 30:39)
Surah Ar Ruum 39
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (39)
Sebagian manusia menambahkan hartanya bukan untuk mencari keridaan Allah, tetapi untuk menambah banyaknya harta itu. Pemberian seperti itu, yaitu dengan maksud memberi hadiah seorang dengan harapan akan dibalas dengan baik atau yang lebih banyak, tidak ada tambahannya di sisi Allah. Dan si pemberi tidak akan mendapat pahala, tetapi hal itu tidak ada dosanya. Demikian pendapat sebagian para ulama dan Sayid Qutb dalam bukunya: "Fi Zi lalil Quran" hal. 48 Jus 21. Dan ayat ini turun karena adanya pemberian seperti itu.
Menurut Sya'by ayat itu maksudnya ialah bahwa usaha dan penghasilan yang diberikan kepada seseorang adalah untuk meringankannya, agar kelak dia dapat manfaat dari padanya dalam urusan dunianya. Manfaat seperti itu, sebagai balasan dari usahanya, tidak ada tambahan di sisi Allah. Hal itu diharamkan khususnya kepada Nabi saw. Tuhan berfirman:
ولا تمنن تستكثر
Artinya:
Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (Q.S. Al Mudassir: 6)
Nabi dilarang memberi sesuatu dengan harapan mendapat balasan lebih banyak.
Para ulama berbeda pendapat mengenai si pemberi hadiah yang mengharapkan balasan lebih banyak. Menurut Malik hal itu tergantung kepada keadaan. Apabila balasan yang diharapkan itu dari si penerima yang lebih tinggi kedudukannya, maka hal itu tidak apa. Seperti pemberian orang miskin kepada orang kaya, pemberian pelayan kepada tuannya, pemberian buruh kepada majikannya dan lain-lain. Pendapat ini dianut juga oleh Imam Syafii. Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada balasan bagi si pemberi jika tidak diisyaratkan. Dan pendapat ini juga termasuk salah satu fatwa (qaul) Syafii. Beliau berkata: "Pemberian dengan mengharapkan balasan lebih banyak, batal, tidak ada manfaatnya, karena hal itu sama halnya dengan menjual dengan harga yang tidak diketahui.
Berkenaan dengan pemberian ini Nabi saw pernah bersabda, yang diriwayatkan oleh 'Aisyah ra:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبل الهدية ويُثْبِتُ عليها وأثاب على لقحة ولم ينكر على صاحبها حين طلب الثواب وإنما أنكر سخطه للثواب, وكان زائدا على القيمة
Artinya:
Rasulullah saw menerima hadiah dan memberi balasan atas hadiah itu. Beliau memberikan seekor unta perahan, dan tidak menyangkal pemiliknya ketika dia meminta balasan. Beliau hanya mengingkari kemarahan pemberian hadiah itu karena pembalasan itu nilainya lebih dari nilai hadiah. (H.R. Bukhari)
Ali bin Abu Talib ra pernah menerangkan tentang pemberian yang benar.
Beliau mengatakan bahwa si pemberi tak luput dari tiga alternatif.
Pertama, si pemberi menginginkan rida Allah dengan pemberiannya itu dan mengharapkan pembalasan dari pada-Nya.
Kedua, dia ingin pujian dan sanjungan manusia dengan pemberiannya itu karena dia bersifat ria.
Ketiga dia ingin pembalasan dari si penerima hadiah. Dalam ketiga hal ini
Nabi bersabda secara umum:
إنما الأعمال بالنيات إنما لكل امرئ ما نوى
Artinya:
Perbuatan-perbuatan itu harus dengan niat, dan tiap-tiap manusia sesuai dengan yang diniatkannya. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun orang-orang yang menginginkan rida Allah dan mengharapkan pembalasan dari sisi-Nya dengan pemberian itu, maka pembalasan yang diharapkannya itu ada di sisi Allah dengan rahmat-Nya. Hal ini ditegaskan oleh ayat 39 ini bagian akhir: "Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka orang-orang (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Begitu juga halnya orang yang ingin menghubungi familinya agar dia menjadi kaya, sehingga dia tidak menjadi beban bagi orang lain. Niatnya seperti itu sama dengan golongan pemberi tersebut di atas. Jika maksudnya untuk bermegah-+megahan karena dunia, maka hal itu bukan karena Allah. Dan jika pemberian itu +ha maksudkan untuk mendapatkan hubungan keluarga dan famili, hal itu bukah karena Allah.
Adapun orang yang menginginkan sanjungan dan pujian manusia serta bersifat ria dengan pemberiannya itu, maka pemberian itu tak ada manfaatnya baginya. Dia tidak diberi pahala di dunia maupun di akhirat kelak. Dalam hal ini Allah berfirman:
يا أيها الذين آمنوا لا تبطلوا صدقاتكم بالمن والأذى كالذي ينفق ماله رئاء الناس
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada manusia. (Q.S. Al Baqarah: 264)
Adapun orang yang menginginkan pembalasan dari orang yang diberi itu, maka baginya apa yang diinginkannya itu dengan pemberiannya dia berhak menarik pemberian itu kembali selama dia belum menerima balasan sebanyak nilainya itu. Demikian menurut lahir perkataan Umar bin Khatab dan Ali bin Abu Talib ra. Dan bagaimana pendapat ulama mengenai hal ini telah diterangkan di atas.
Orang-orang yang memberi zakat dan yang menginginkan rida Allah, maka mereka itu adalah orang yang dilipat gandakan pahalanya. Maksudnya ialah orang yang menafkahkan hartanya, seperti zakat, tanpa mengharapkan pembalasan dan ganti, maka pemberiannya itu akan dilipat gandakan Allah pahalanya. Dengan syarat pemberian itu mencari keridaan Allah, dan ingin melepaskan kesengsaraan dan menutupi keperluan orang-orang yang berada dalam kesempitan. Pemberian selain itu bukanlah termasuk amal saleh.
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (39)
Sebagian manusia menambahkan hartanya bukan untuk mencari keridaan Allah, tetapi untuk menambah banyaknya harta itu. Pemberian seperti itu, yaitu dengan maksud memberi hadiah seorang dengan harapan akan dibalas dengan baik atau yang lebih banyak, tidak ada tambahannya di sisi Allah. Dan si pemberi tidak akan mendapat pahala, tetapi hal itu tidak ada dosanya. Demikian pendapat sebagian para ulama dan Sayid Qutb dalam bukunya: "Fi Zi lalil Quran" hal. 48 Jus 21. Dan ayat ini turun karena adanya pemberian seperti itu.
Menurut Sya'by ayat itu maksudnya ialah bahwa usaha dan penghasilan yang diberikan kepada seseorang adalah untuk meringankannya, agar kelak dia dapat manfaat dari padanya dalam urusan dunianya. Manfaat seperti itu, sebagai balasan dari usahanya, tidak ada tambahan di sisi Allah. Hal itu diharamkan khususnya kepada Nabi saw. Tuhan berfirman:
ولا تمنن تستكثر
Artinya:
Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (Q.S. Al Mudassir: 6)
Nabi dilarang memberi sesuatu dengan harapan mendapat balasan lebih banyak.
Para ulama berbeda pendapat mengenai si pemberi hadiah yang mengharapkan balasan lebih banyak. Menurut Malik hal itu tergantung kepada keadaan. Apabila balasan yang diharapkan itu dari si penerima yang lebih tinggi kedudukannya, maka hal itu tidak apa. Seperti pemberian orang miskin kepada orang kaya, pemberian pelayan kepada tuannya, pemberian buruh kepada majikannya dan lain-lain. Pendapat ini dianut juga oleh Imam Syafii. Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada balasan bagi si pemberi jika tidak diisyaratkan. Dan pendapat ini juga termasuk salah satu fatwa (qaul) Syafii. Beliau berkata: "Pemberian dengan mengharapkan balasan lebih banyak, batal, tidak ada manfaatnya, karena hal itu sama halnya dengan menjual dengan harga yang tidak diketahui.
Berkenaan dengan pemberian ini Nabi saw pernah bersabda, yang diriwayatkan oleh 'Aisyah ra:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبل الهدية ويُثْبِتُ عليها وأثاب على لقحة ولم ينكر على صاحبها حين طلب الثواب وإنما أنكر سخطه للثواب, وكان زائدا على القيمة
Artinya:
Rasulullah saw menerima hadiah dan memberi balasan atas hadiah itu. Beliau memberikan seekor unta perahan, dan tidak menyangkal pemiliknya ketika dia meminta balasan. Beliau hanya mengingkari kemarahan pemberian hadiah itu karena pembalasan itu nilainya lebih dari nilai hadiah. (H.R. Bukhari)
Ali bin Abu Talib ra pernah menerangkan tentang pemberian yang benar.
Beliau mengatakan bahwa si pemberi tak luput dari tiga alternatif.
Pertama, si pemberi menginginkan rida Allah dengan pemberiannya itu dan mengharapkan pembalasan dari pada-Nya.
Kedua, dia ingin pujian dan sanjungan manusia dengan pemberiannya itu karena dia bersifat ria.
Ketiga dia ingin pembalasan dari si penerima hadiah. Dalam ketiga hal ini
Nabi bersabda secara umum:
إنما الأعمال بالنيات إنما لكل امرئ ما نوى
Artinya:
Perbuatan-perbuatan itu harus dengan niat, dan tiap-tiap manusia sesuai dengan yang diniatkannya. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun orang-orang yang menginginkan rida Allah dan mengharapkan pembalasan dari sisi-Nya dengan pemberian itu, maka pembalasan yang diharapkannya itu ada di sisi Allah dengan rahmat-Nya. Hal ini ditegaskan oleh ayat 39 ini bagian akhir: "Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka orang-orang (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Begitu juga halnya orang yang ingin menghubungi familinya agar dia menjadi kaya, sehingga dia tidak menjadi beban bagi orang lain. Niatnya seperti itu sama dengan golongan pemberi tersebut di atas. Jika maksudnya untuk bermegah-+megahan karena dunia, maka hal itu bukan karena Allah. Dan jika pemberian itu +ha maksudkan untuk mendapatkan hubungan keluarga dan famili, hal itu bukah karena Allah.
Adapun orang yang menginginkan sanjungan dan pujian manusia serta bersifat ria dengan pemberiannya itu, maka pemberian itu tak ada manfaatnya baginya. Dia tidak diberi pahala di dunia maupun di akhirat kelak. Dalam hal ini Allah berfirman:
يا أيها الذين آمنوا لا تبطلوا صدقاتكم بالمن والأذى كالذي ينفق ماله رئاء الناس
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada manusia. (Q.S. Al Baqarah: 264)
Adapun orang yang menginginkan pembalasan dari orang yang diberi itu, maka baginya apa yang diinginkannya itu dengan pemberiannya dia berhak menarik pemberian itu kembali selama dia belum menerima balasan sebanyak nilainya itu. Demikian menurut lahir perkataan Umar bin Khatab dan Ali bin Abu Talib ra. Dan bagaimana pendapat ulama mengenai hal ini telah diterangkan di atas.
Orang-orang yang memberi zakat dan yang menginginkan rida Allah, maka mereka itu adalah orang yang dilipat gandakan pahalanya. Maksudnya ialah orang yang menafkahkan hartanya, seperti zakat, tanpa mengharapkan pembalasan dan ganti, maka pemberiannya itu akan dilipat gandakan Allah pahalanya. Dengan syarat pemberian itu mencari keridaan Allah, dan ingin melepaskan kesengsaraan dan menutupi keperluan orang-orang yang berada dalam kesempitan. Pemberian selain itu bukanlah termasuk amal saleh.
Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.(QS. 30:40)
Surah Ar Ruum 40
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَفْعَلُ مِنْ ذَلِكُمْ مِنْ شَيْءٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (40)
Ayat ini kembali membicarakan kaum musyrik. Mereka dipersoalkan kembali agar mereka tahu bahwa mereka itu bodoh dan sesat. Di atas, sebelum ayat-ayat mengenai pengaturan rezeki Allah, mereka telah meminta untuk memberikan keterangan dan bukti atas kebenaran apa yang mereka sembah selain Allah.
Mereka diminta untuk mendapatkan dan menerangkan kitab dari langit, atau seorang Rasul dari Allah atau malaikat untuk menerangkan kebenaran akidah itu. Tetapi mereka tak sanggup berbuat demikian. Tanda-tanda Allah telah datang kepada mereka yang menyeru agar meneliti keterangan dan hujah yang ada dalam jiwa mereka sendiri, agar mereka memalingkan akal --jika mereka berakal --kepada kenyataan-kenyataan alam dan fakta-faktanya. Pada setiap kenyataan dan fakta alam ini ada keterangan dan bukti atas adanya kebenaran yang harus disembah yaitu Allah SWT. Dialah yang menjadikan makhluk dan yang memberi rezeki, yang mematikan dan menghidupkan mereka. Adakah tuhan kaum musyrik itu yang dapat berbuat demikian, adakah tuhan mereka ikut serta menciptakan mereka, adakah tuhan mereka ikut serta memberi rezeki, adakah tuhan mereka itu mematikan dan membangkitkan mereka setelah mati?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus mereka jawab. Jika jawabnya positif, berikanlah. Hal itu merupakan hujah dan bukti nyata bagi mereka, bahwa yang mereka sembah itu benar, dan mereka pantas setia dan patuh kepadanya. Tetapi jika jawabnya negatif --dan ini merupakan suatu kenyataan maka gugurlah hujah itu, dan sesatlah keterangan mereka itu. Oleh karena itu seharusnya mereka segera berlepas tangan dari tuhan itu, membuangkannya dari pikiran mereka, dan menghilangkannya dari perasaan mereka.
Pertanyaan itu adalah persoalan logika yang dimulai dengan dugaan, bahwa Allah-lah yang menciptakan, memberikan rezeki, mematikan dan menghidupkan kembali. Adakah tuhan-tuhan mereka itu dapat berbuat seperti itu? Tidak, mereka tidak berbuat sesuatu. Jadi tuhan-tuhan mereka itu tak dapat dimasukkan kepada kategori ketuhanan. Karena itu Allah sendirilah, yang tak ada sekutu bagi-Nya, yang dapat dimasukkan kepada kategori ketuhanan itu. Dari itu sucikanlah Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan.
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَفْعَلُ مِنْ ذَلِكُمْ مِنْ شَيْءٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (40)
Ayat ini kembali membicarakan kaum musyrik. Mereka dipersoalkan kembali agar mereka tahu bahwa mereka itu bodoh dan sesat. Di atas, sebelum ayat-ayat mengenai pengaturan rezeki Allah, mereka telah meminta untuk memberikan keterangan dan bukti atas kebenaran apa yang mereka sembah selain Allah.
Mereka diminta untuk mendapatkan dan menerangkan kitab dari langit, atau seorang Rasul dari Allah atau malaikat untuk menerangkan kebenaran akidah itu. Tetapi mereka tak sanggup berbuat demikian. Tanda-tanda Allah telah datang kepada mereka yang menyeru agar meneliti keterangan dan hujah yang ada dalam jiwa mereka sendiri, agar mereka memalingkan akal --jika mereka berakal --kepada kenyataan-kenyataan alam dan fakta-faktanya. Pada setiap kenyataan dan fakta alam ini ada keterangan dan bukti atas adanya kebenaran yang harus disembah yaitu Allah SWT. Dialah yang menjadikan makhluk dan yang memberi rezeki, yang mematikan dan menghidupkan mereka. Adakah tuhan kaum musyrik itu yang dapat berbuat demikian, adakah tuhan mereka ikut serta menciptakan mereka, adakah tuhan mereka ikut serta memberi rezeki, adakah tuhan mereka itu mematikan dan membangkitkan mereka setelah mati?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus mereka jawab. Jika jawabnya positif, berikanlah. Hal itu merupakan hujah dan bukti nyata bagi mereka, bahwa yang mereka sembah itu benar, dan mereka pantas setia dan patuh kepadanya. Tetapi jika jawabnya negatif --dan ini merupakan suatu kenyataan maka gugurlah hujah itu, dan sesatlah keterangan mereka itu. Oleh karena itu seharusnya mereka segera berlepas tangan dari tuhan itu, membuangkannya dari pikiran mereka, dan menghilangkannya dari perasaan mereka.
Pertanyaan itu adalah persoalan logika yang dimulai dengan dugaan, bahwa Allah-lah yang menciptakan, memberikan rezeki, mematikan dan menghidupkan kembali. Adakah tuhan-tuhan mereka itu dapat berbuat seperti itu? Tidak, mereka tidak berbuat sesuatu. Jadi tuhan-tuhan mereka itu tak dapat dimasukkan kepada kategori ketuhanan. Karena itu Allah sendirilah, yang tak ada sekutu bagi-Nya, yang dapat dimasukkan kepada kategori ketuhanan itu. Dari itu sucikanlah Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar