Selasa, 03 April 2012

At-Taubah 121 - 129

Surah AT-TAUBAH
<<KEMBALI KE DAFTAR SURAH                         DAFTAR SURAH AT-TAUBAH>>
http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp?SuratKe=9&start=121#Top
121 dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS. 9:121)
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah At Taubah 121

وَلَا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (121)

Dalam ayat ini, Allah swt. menjelaskan, bahwa mereka yang tinggal di rumah dan tidak berangkat ke medan perang bersama Rasulullah, tentulah tidak ikut memberikan sumbangan bagi perjuangan baik yang kecil maupun yang besar, dan mereka pun tidak ikut merasakan kepayahan melintasi suatu lembah pun. Lain halnya dengan orang-orang yang ikut berperang. Mereka berbuat dan mengalami hal yang demikian itu niscaya dituliskan di sisi Allah sebagai amal saleh, karena Allah akan memberikan kepada mereka balasan yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada apa yang telah mereka sumbangkan dan apa yang mereka perbuat itu.
Orang-orang yang ikut berperang serta menyumbangkan harta bendanya untuk di jalan Allah, berarti telah melakukan dua macam pengorbanan yang mulia, yaitu pengorbanan harta benda dan pengorbanan jiwa raga. Pengorbanan yang paling mulia tentulah berhak untuk diberi ganjaran yang paling mulia pula, bahwa ganjaran itu lebih tinggi daripada pengorbanan yang telah diberikannya. Mengenai hal ini telah ada suatu ketentuan dalam agama Islam sebagaimana firman Allah:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
Artinya:
Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.
(Q.S. Al-An'am: 160)
Perlu diingat bahwa pahala yang besar itu tidak hanya diberikan Allah kepada orang mukmin yang mengorbankan harta benda dan jiwa raga dalam peperangan saja melainkan juga kepada orang-orang mukmin yang melakukan amal kebajikan dalam bidang yang lain. Namun demikian pengorbanan yang diberikan dalam berjihad di medan perang untuk membela agama adalah lebih mulia daripada pengorbanan untuk kepentingan yang lain sehingga pengorbanan harta yang sedikit jumlahnya untuk keperluan jihad sama nilainya dengan pengorbanan harta yang banyak untuk kebajikan yang lain. Dan penderitaan yang sedikit yang diderita dalam berjihad sama nilainya dengan penderitaan besar yang dialami dalam perbuatan amal yang lain.

Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah At Taubah 121
وَلَا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (121)
(Dan mereka tiada menafkahkan) dalam rangka melaksanakan hal tersebut (suatu nafkah yang kecil) sekali pun berupa sebiji buah kurma (dan tidak pula yang besar dan tidak melintasi suatu lembah) dengan berjalan kaki (melainkan dituliskan bagi mereka) amal saleh pula (karena Allah memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan) sebagai pahalanya.

122 Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(QS. 9:122)
 Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah At Taubah 122

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)

Dalam ayat ini, Allah swt. menerangkan bahwa tidak perlu semua orang mukmin berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi bertekun menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat serta kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.
Orang-orang yang berjuang di bidang pengetahuan, oleh agama Islam disamakan nilainya dengan orang-orang yang berjuang di medan perang. Dalam hal ini Rasulullah saw. telah bersabda:

يوزن يوم القيامة مداد العلماء بدم الشهداء
Artinya:
Di hari kiamat kelak tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama akan ditimbang dengan darah para syuhada (yang gugur di medan perang).
Tugas ulama umat Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta mengamalkannya dengan baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum mengetahuinya. Tugas-tugas tersebut adalah merupakan tugas umat dan tugas setiap pribadi muslim sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan masing-masing, karena Rasulullah saw. telah bersabda;

بلغوا عني ولو آية
Artinya:
Sampaikanlah olehmu (apa-apa yang telah kamu peroleh) daripadaku walaupun hanya satu ayat Alquran saja.
Akan tetapi tentu saja tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk bertekun menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sebagiannya sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah Islam dengan cara atau metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik pula.
Apabila umat Islam telah memahami ajaran-ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dunia dan akhirat.
Di samping itu perlu diingat, bahwa apabila umat Islam menghadapi peperangan besar yang memerlukan tenaga manusia yang banyak, maka dalam hal ini seluruh umat Islam harus dikerahkan untuk menghadapi musuh. Tetapi bila peperangan itu sudah selesai, maka masing-masing harus kembali kepada tugas semula, kecuali sejumlah orang yang diberi tugas khusus untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam dinas kemiliteran dan kepolisian.
Oleh karena ayat ini telah menetapkan bahwa fungsi ilmu tersebut adalah untuk mencerdaskan umat, maka tidaklah dapat dibenarkan bila ada orang-orang Islam yang menuntut ilmu pengetahuannya hanya untuk mengejar pangkat dan kedudukan atau keuntungan pribadi saja, apalagi untuk menggunakan ilmu pengetahuan sebagai kebanggaan dan kesombongan diri terhadap golongan yang belum menerima pengetahuan.
Orang-orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan haruslah menjadi mercusuar bagi umatnya. Ia harus menyebarluaskan ilmunya, dan membimbing orang lain agar memiliki ilmu pengetahuan pula. Selain itu, ia sendiri juga harus mengamalkan ilmunya agar menjadi contoh dan teladan bagi orang-orang sekitarnya dalam ketaatan menjalankan peraturan dan ajaran-ajaran agama.
Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian, bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap orang mukmin mempunyai tiga macam kewajiban, yaitu: menuntut ilmu, mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.
Menurut pengertian yang tersurat dari ayat ini kewajiban menuntut ilmu pengetahuan yang ditekankan di sisi Allah adalah dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi agama adalah suatu sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan mencerdaskan kehidupan mereka, dan tidak bertentangan dengan norma-norma segi kehidupan manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan kehidupan mereka dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi ini dan menciptakan kehidupan yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban adalah wajib pula hukumnya. Dalam hal ini, para ulama Islam telah menetapkan suatu kaidah yang berbunyi:
كل ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Artinya:
Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan yang wajib, maka ia wajib pula hukumnya.
Karena pentingnya fungsi ilmu dan para sarjana, maka beberapa negara Islam membebaskan para ulama (sarjana) dan mahasiswa pada perguruan agama dari wajib militer agar pengajaran dan pengembangan ilmu senantiasa dapat berjalan dengan lancar, kecuali bila negara sedang menghadapi bahaya besar yang harus dihadapi oleh segala lapisan masyarakat.

Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah At Taubah 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)
Tatkala kaum Mukminin dicela oleh Allah bila tidak ikut ke medan perang kemudian Nabi saw. mengirimkan sariyahnya, akhirnya mereka berangkat ke medan perang semua tanpa ada seorang pun yang tinggal, maka turunlah firman-Nya berikut ini: (Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi) ke medan perang (semuanya. Mengapa tidak) (pergi dari tiap-tiap golongan) suatu kabilah (di antara mereka beberapa orang) beberapa golongan saja kemudian sisanya tetap tinggal di tempat (untuk memperdalam pengetahuan mereka) yakni tetap tinggal di tempat (mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya) dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya (supaya mereka itu dapat menjaga dirinya) dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas r.a. memberikan penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyah-sariyah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk sariyah lantaran Nabi saw. tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya yang juga melarang seseorang tetap tinggal di tempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada bila Nabi saw. berangkat ke suatu ghazwah.

123 Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.(QS. 9:123)
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah At Taubah 123

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (123)

Taktik perang yang ditunjukkan Allah dalam ayat ini kepada Rasulullah saw. dan kaum muslimin lebih dahulu memerangi musuh-musuh Islam yang berada pada garis lingkaran yang terdekat dengan pusat kedudukan umat Islam kemudian dilanjutkan kepada lingkaran yang lebih jauh.
Hal ini didasarkan kepada prinsip, bahwa peperangan yang dilakukan umat Islam hanyalah untuk mengamankan jalannya dakwah Islam dan untuk melindungi keselamatan umat Islam, sedang dakwah tersebut juga dimulai dari orang-orang yang terdekat, dilanjutkan kepada orang-orang yang lebih jauh. Dengan demikian, terlihat adanya garis sejajar antara dakwah Islam dan peperangan tersebut.
Petunjuk ini telah dilaksanakan dengan baik oleh Rasulullah saw., baik dalam bidang dakwah maupun peperangan yang berfungsi untuk mengamankan dakwah tersebut. Mengenai dakwah, beliau telah melaksanakannya lebih dahulu kepada keluarganya yang terdekat dan sahabat-sahabat karibnya, sesuai dengan petunjuk Allah swt.:

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
Artinya:
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.
(Q.S. Asy Syu'ara: 214)
Dan firman-Nya dalam ayat yang lain:

وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا
Artinya:
....dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya.
(Q.S. Al-An'am: 92)
Kemudian dakwah ini beliau lanjutkan kepada masyarakat yang lebih luas, tidak saja dalam lingkungan negeri Arab, bahkan kepada raja-raja dan bangsa-bangsa sekitar Jazirah Arab.
Demikian pula dalam hal peperangan, sesuai dengan ayat tadi dimulai dari musuh-musuh Islam yang terdekat yang selalu melakukan tipu daya untuk menghalang-halangi jalannya dakwah Islam. Kemudian dilanjutkan kepada suku-suku Arab yang lebih jauh dari pusat kedudukan atau basis umat Islam. Sesudah Rasulullah saw. wafat, maka para khalifah meneruskan peperangan tersebut ke daerah-daerah yang lebih jauh, yaitu ke negeri Syam (Syria) dan Irak. Kemudian menyusup ke benua Afrika (sebelah Barat) dan Persia, Khurasan, bahkan sampai ke pegunungan Hindukust (sebelah Timur) sesuai dengan perluasan dakwah Islam yang mereka lakukan menurut petunjuk dan perintah Allah swt.:

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ
Artinya:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, dan tidak (pula) kepada hari kemudian.
(Q.S. At Taubah: 29)
Musuh-musuh Islam yang terdekat kepada Rasulullah dan kaum muslimin ketika itu ialah orang-orang kafir yang terdiri dari kaum Yahudi yang berdiam di kota Madinah, kemudian di Khaibar dan selanjutnya mereka yang memerangi kaum Muslimin di perang Tabuk, dan sesudah itu musuh-musuh Islam di daerah-daerah Syam yang ketika itu berada dalam kekuasaan Romawi Timur yang berpusat di bizantium.
Taktik peperangan dengan cara memulai dari yang terdekat kepada yang jauh adalah tepat sekali ditinjau dari berbagai segi, yaitu dari segi kemungkinan fasilitas pengangkutan, perbekalan dan biaya. Semakin dekat tempatnya, semakin mudah cara-cara pengangkutan dan dengan demikian semakin kecil pula biaya dan perbekalan yang diperlukan. Semakin jauh tempat yang harus didatangi, semakin sukar pula pengangkutan dan semakin banyak pula waktu dan perbekalan yang diperlukan. Dengan sendirinya semakin banyak tenaga yang dibutuhkan.
Prinsip mendahulukan yang dekat dari yang jauh ini juga diterangkan dalam bidang-bidang lainnya, yaitu:
a. Dalam kewajiban memberi nafkah dan sedekah harus dimulai dari yang terdekat, kemudian orang-orang yang lebih jauh, baik ditinjau dari segi kekerabatannya maupun dari segi tempatnya. Atas dasar prinsip ini, maka zakat dan sedekah tidaklah boleh diberikan kepada orang-orang di desa lain apabila dalam desa itu sendiri masih ada orang-orang yang perlu diberi.
b. Dalam menghidangkan makanan dan minuman pada majelis perjamuan harus dimulai dari yang terdekat. Rasulullah saw. telah memberikan contoh teladan dalam hal ini, di mana beliau mengedarkan minuman lebih dahulu kepada orang-orang yang duduk di kanan-kirinya walaupun mereka itu bukan orang-orang penting dan terkemuka, kemudian baru diteruskan kepada yang berikutnya.
c. Mengenai hak perwalian dalam pernikahan, juga kita lihat adanya prinsip ini. Orang yang paling berhak untuk menjadi wali nikah bagi wanita Islam adalah orang-orang yang terdekat kepadanya, yaitu ayahnya, kemudian kakek lalu saudara lelaki dan paman dan seterusnya.
d. Demikian pula dalam berbuat kebajikan terhadap orang lain harus didahulukan yang terdekat, yaitu ibu, ayah dan seterusnya.
Selanjutnya dalam ayat ini Allah swt. memberikan petunjuk-Nya agar kaum Muslimin mampu menggunakan kekerasan dan kekuatan terhadap orang-orang kafir yang menghalang-halangi dakwah Islam, apabila jalan diplomasi dan perlakuan yang lemah dan ramah tamah tidak mempan lagi untuk mereka. Kaum Muslimin diperintahkan untuk bersikap adil, kasih sayang dan ramah tamah kepada orang-orang bukan Islam. Akan tetapi bila mereka tetap mengganggu kepentingan umat Islam, terutama dakwah Islam, maka kaum Muslimin harus menggunakan kekuatan dan kekuasaan sehingga mereka menghentikan permusuhan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Hal ini tersebut pula dalam firman Allah pada ayat yang lain:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
Artinya:
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.
(Q.S. At Taubah: 73)
Dengan demikian jelaslah bahwa kaum muslimin harus menggunakan dua macam sikap terhadap orang-orang kafir dan munafik, yaitu pertama sikap ramah tamah dan lemah lembut, bila sikap ini mendapat sambutan baik dari mereka. Kedua sikap keras dan menggunakan kekuatan fisik, bila sikap yang pertama tadi sudah tak mempan.
Pada akhir ayat ini Allah meyakinkan orang-orang yang bertakwa, bahwa Dia senantiasa bersama mereka. Artinya Allah memberikan jaminan kepada orang-orang yang bertakwa, yaitu yang senantiasa menjaga hukum-hukum dan ketentuan Allah, bahwa Dia akan selalu memberikan bantuan dan pertolongan-Nya. Ketentuan-ketentuan Allah yang perlu diperhatikan dalam masalah peperangan ialah agar umat Islam tidak lalai dalam mempersiapkan segala sesuatu yang perlu untuk mencapai kemenangan, yaitu kekuatan fisik dan mental. Kekuatan fisik mencakup prajurit yang berbadan sehat dan kuat, alat-alat senjata yang efektif, kubu-kubu pertahanan yang tangguh, serta perbekalan dan perlengkapan yang cukup. Sedang kekuatan mental ialah semangat yang tinggi, kesabaran dan keuletan yang tangguh, serta siasat perang yang jitu serta disiplin yang kuat, dan persatuan yang kokoh. Termasuk pula etika perang yang bermoral tinggi, yaitu tidak berlaku lalim terhadap wanita, anak-anak, orang tua yang lemah, serta tidak pula berlaku kejam terhadap orang-orang yang sudah menyerah atau tertawan selama mereka ini tidak membahayakan bagi kepentingan Islam dan umat Islam. Akhirnya yang tidak pula kurang pentingnya untuk mencapai kemenangan ini ialah iman yang kokoh, serta ingat dan tawakal kepada Allah swt.  

124 Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: `Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini? Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.(QS. 9:124)
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah At Taubah 124

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ (124)

Kaum munafikin di masa Nabi Muhammad saw. apabila ayat-ayat Alquran diturunkan kepada beliau dan disampaikan kepada mereka, maka di antara mereka itu ada yang bertanya kepada teman-temannya baik dari kalangan munafik sendiri maupun teman-teman mereka dari kaum Muslimin yang lemah imannya, "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan turunnya surah ini?" Sehingga ia meyakinkan bahwa Alquran ini benar-benar dari Allah bahwa Muhammad itu benar-benar pesuruh Allah, bahwa tiap-tiap ayat Alquran merupakan mukjizat bagi Muhammad dan bahwa Alquran itu bukan buatan Muhammad.
Jika diperhatikan pertanyaan orang munafik yang tersebut dalam ayat-ayat ini dirasakan bahwa pertanyaan itu bukanlah maksudnya untuk menanyakan sesuatu yang tidak diketahui tetapi menunjukkan apa yang menjadi isi hati mereka; yaitu mereka belum percaya kepada Rasulullah sekalipun mulut mereka telah mengakuinya. Bahkan mereka ingin pula agar orang-orang Islam yang lemah imannya seperti mereka pula. Seandainya tidak ada penyakit di dalam hati orang-orang munafik itu pasti mereka mengetahui bahwa iman yang sesungguhnya yang disertai dengan ketundukan dan penghambaan diri kepada Allah karena telah merasakan dan meyakini kekuasaan-Nya pasti akan bertambah dengan mendengar dan membaca ayat-ayat Alquran apalagi jika langsung mendengarnya dari Rasulullah saw. sendiri.
Sifat-sifat orang munafik ini diterangkan dalam firman-Nya:

يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Artinya:
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang beriman padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta.
(Q.S. Al-Baqarah: 9, 10)
Mengenai kesan ayat-ayat Alquran dalam hati orang-orang yang beriman diterangkan dalam firman Allah swt.:

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ
Artinya:
Sebenarnya Alquran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang lalim.
(Q.S. Al-Ankabut: 49)
Pertanyaan orang-orang munafik itu dijawab Allah swt. dengan ungkapan yang tersebut pada akhir ayat ini yang maksudnya: Orang-orang yang beriman kepada Allah swt. dan kepada Rasul-Nya, serta orang-orang yang hatinya telah mendapat pancaran sinar agama Islam, akan bertambah imannya itu dengan bertambahnya ayat-ayat yang diturunkan kepada Muhammad dan disampaikan kepada mereka. Setiap ayat yang disampaikan kepada mereka selalu menguatkan iman dan keyakinan mereka, dan akan menambah ketenangan dan ketenteraman mereka. Mereka selalu menerima ayat-ayat itu dengan senang hati dan penuh kegembiraan.

125 Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.(QS. 9:125)
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah At Taubah 125

وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ (125)

Selanjutnya Allah swt. meneruskan jawaban pertanyaan mereka itu pada ayat ini yang maksudnya ialah: "Adapun orang-orang yang hatinya ragu-ragu, dan orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang hatinya penuh kekafiran sedang mulutnya menyatakan iman, tentulah setiap ayat yang disampaikan kepada mereka selalu menimbulkan keragu-raguan dan kemunafikan dalam hati mereka atau menambah keragu-raguan dan kemunafikan yang telah ada. Hal yang seperti ini selalu bertambah dan semakin kuat pengaruhnya pada diri mereka, sehingga akhirnya mereka mati sebagai seorang munafik yang kafir. Hal yang mereka alami ini akan dialami oleh orang-orang yang sesudah mereka yang sama hatinya dengan hati mereka, mereka akan mati pula sebagai seorang yang kafir.

126 Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pengajaran?(QS. 9:126)
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah At Taubah 126

أَوَلَا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لَا يَتُوبُونَ وَلَا هُمْ يَذَّكَّرُونَ (126)

Pada ayat ini Allah swt. tidak membenarkan bahkan mencela sikap orang-orang munafik yang tetap membangkang, tidak mau bertobat dengan tidak pula mengambil pengalaman dari peristiwa-peristiwa yang telah mereka alami. Sebenarnya kepada mereka setiap tahun telah didatangkan cobaan-cobaan dan pengalaman-pengalaman yang dapat menambah kuat iman seseorang dan membedakan antara yang benar dan yang salah. Di antara ujian dan pengalaman mereka itu ialah bukti-bukti kebenaran Muhammad sebagai utusan Allah yang menyatakan bahwa Allah pasti akan menolong orang-orang yang mengikuti Muhammad. Jadi Allah akan mengalahkan orang-orang kafir dan munafik, dan terjadilah ancaman dari peringatan-peringatan yang telah diberikan kepada mereka itu. Ujian dan pengalaman mereka itu, jika mereka mau berpikir dengan baik, tentu akan menyampaikan kepada kesimpulan bahwa Muhammad itu benar-benar Rasulullah yang diutus Allah kepada mereka, tetapi mereka tetap ingkar dan tidak mau bertobat serta mengambil pelajaran daripadanya. Bahkan hati mereka bertambah sakit dan bertambah ingkar.

Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah At Taubah 126
أَوَلَا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لَا يَتُوبُونَ وَلَا هُمْ يَذَّكَّرُونَ (126)
(Dan tidakkah mereka memperhatikan) bila dibaca yarauna, fa'ilnya adalah orang-orang munafik, dan bila dibaca tarauna, fa`ilnya adalah orang-orang mukmin (bahwa mereka diuji) dicoba (sekali atau dua kali setiap tahun) dengan musim paceklik dan wabah penyakit (kemudian mereka tidak juga bertobat) dari kemunafikannya (dan tidak pula mengambil pelajaran) artinya pelajaran buat dirinya.

 127 Dan apabila diturunkan satu surat, sebagian mereka memandang kepada sebagian yang lain (sambil berkata):` Adakah seorang dari (orang-orang muslimin) yang melihat kamu? `Sesudah itu merekapun pergi. Allah telah memalingkan hati mereka disebabkan mereka adalah kaum yang tidak mengerti.(QS. 9:127)
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah At Taubah 127

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ نَظَرَ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ هَلْ يَرَاكُمْ مِنْ أَحَدٍ ثُمَّ انْصَرَفُوا صَرَفَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ (127)

Ayat ini menerangkan sikap orang-orang munafik dan tindakan-tindakan mereka di majelis Rasulullah waktu diturunkan ayat-ayat Alquran. Bila diturunkan suatu ayat atau suatu surat kepada Rasulullah saw. sedang mereka berada dalam majelis saling melihat satu sama lain, mengedipkan mata sebagai tanda memandang enteng terhadap apa yang telah diturunkan itu. Sikap mereka ini menunjukkan bahwa pengaruh kekafiran telah berurat akar dalam jiwa mereka. Mereka sebenarnya tidak ingin mendengarkan ayat-ayat Alquran dari Rasulullah, dan tidak ingin orang lain mendapat petunjuk dengan Alquran.
Sikap mereka yang lain ialah mereka berangsur-angsur meninggalkan majelis Rasulullah saw. sambil bertanya kepada temannya yang lain: "Apakah ada orang yang melihat kepergian kita meninggalkan majelis itu." Sedang orang-orang mukmin mendengar dan memperhatikan ayat-ayat itu dengan tunduk dan penuh perhatian.
Karena sikap orang-orang munafik itu, maka Allah swt. memalingkan hati mereka dari iman dan dari petunjuk-petunjuk yang ada dalam ayat-ayat Alquran. Allah melakukan yang demikian karena mereka mengingkari seruan Nabi dan tidak menghiraukan petunjuk-petunjuk Alquran.

Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah At Taubah 127
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ نَظَرَ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ هَلْ يَرَاكُمْ مِنْ أَحَدٍ ثُمَّ انْصَرَفُوا صَرَفَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ (127)
(Dan apabila diturunkan satu surah) yang di dalamnya menyebutkan tentang perihal mereka, kemudian surah tersebut dibacakan oleh Nabi saw. (sebagian mereka memandang kepada sebagian yang lain) dengan maksud untuk lari dari tempat itu seraya berkata ("Adakah seorang dari orang-orang Muslimin yang melihat kalian?") bilamana kalian pergi dari tempat ini; jika ternyata tidak ada seorang pun dari kalangan kaum Muslimin yang melihat mereka, maka mereka segera beranjak pergi dari tempat itu. Apabila ternyata ada seseorang dari kaum Muslimin yang melihat mereka, maka mereka tetap di tempatnya (sesudah itu mereka pun pergi) dengan membawa kekafirannya. (Allah telah memalingkan hati mereka) dari hidayah (disebabkan mereka adalah kaum yang tidak mengerti) akan kebenaran, lantaran mereka tidak mau menggunakan pikirannya guna merenungkan kebenaran itu.

128 Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.(QS. 9:128)
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah At Taubah 128

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (128)

Ayat ini sekalipun khusus ditujukan kepada bangsa Arab di masa Nabi tetapi juga ditujukan kepada seluruh umat manusia. Semula ditujukan kepada orang Arab di masa Nabi, karena kepada merekalah Alquran mula-mula disampaikan, karena Alquran itu dalam bahasa Arab, tentulah orang Arab yang paling dapat memahami dan merasakan ketinggian ayat-ayat Alquran itu. Dengan demikian mereka mudah pula menyampaikan kepada orang-orang selain bangsa Arab. Jika orang-orang Arab sendiri tidak mempercayai Muhammad dan Alquran, tentu orang-orang selain orang Arab lebih sukar mempercayainya.
Ayat ini seakan-akan mengingatkan orang-orang Arab sebagaimana bunyinya: Hai orang-orang Arab, telah diutus seorang rasul dari bangsamu sendiri yang kamu mengetahui sepenuhnya asal-usul kepribadiannya, kamu lebih mengetahuinya dari orang-orang lain.
Sebagian mufassir menafsirkan perkataan "rasulun min anfusikum" dengan hadis:

قال صلى الله عليه وسلم: إن الله اصطفى كنانة من ولد إسماعيل واصطفى قريشا من كنانة واصطفى بني هاشم من قريش واصطفاني من بني هاشم
Artinya:
Bersabda Rasulullah saw.: "Sesungguhnya Allah telah memilih Bani Kinanah dari keturunan Ismail, dan memilih suku Quraisy dari Bani Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari suku Quraisy, dan Allah telah memilihku dari Bani Hasyim."
(H.R. Muslim dan Tirmizi dari Wasilah bin Asqa')
Dari ayat dan hadis di atas dapat dipahami tentang kesucian keturunan Muhammad saw. yang berasal dari suku-suku pilihan dari suku-suku bangsa Arab. Dan orang-orang Arab mengetahui benar tentang hal ini. Nabi Muhammad saw. berasal dari keturunan orang-orang yang baik dan terhormat mempunyai sifat-sifat yang tinggi dan agung pula, yaitu:
1. Dia merasa tidak senang jika umatnya ditimpa sesuatu yang tidak diingini, seperti ditimpa kehinaan karena dikuasai dan diperhamba oleh musuh-musuh kaum muslimin, sebagaimana ia tidak senang pula melihat umatnya ditimpa azab yang pedih di akhirat nanti.
2. Sangat menginginkan agar umatnya mendapat taufik dari Allah, bertambah kuat imannya dan bertambah baik keadaannya. Keinginan beliau ini dilukiskan oleh Allah swt. dalam firman-Nya:
إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
Artinya:
Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan sekali-kali mereka tiada mempunyai penolong.
(Q.S. An Nahl: 37)
Dan Allah berfirman:
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Artinya:
Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.
(Q.S. Yusuf: 103)
3. Sangat belas kasihan dan amat penyayang kepada kaum muslimin. Keinginannya ini tampak pada tujuan risalah yang disampaikannya, yaitu agar manusia hidup berbahagia di dunia dan di akhirat nanti. Dalam ayat ini Allah memberikan dua macam sifat kepada Nabi Muhammad saw. yang kedua sifat itu merupakan sifat-Nya sendiri, termasuk di antara "asmaulhusna", yaitu sifat "rauf" (amat belas kasihan) dan sifat "rahim" (penyayang) sebagai tersebut dalam firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Artinya:
Sesungguhnya Allah benar-benar amat Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
(Q.S. Al-Baqarah: 143)
Pemberian kedua sifat ini kepada Muhammad saw. menunjukkan bahwa Allah swt. menjadikan Muhammad saw. sebagai rasul yang dimuliakan-Nya.

Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah At Taubah 128
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (128)
(Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri) dari kalangan kalian sendiri, yaitu Nabi Muhammad saw. (berat terasa) dirasa berat (olehnya apa yang kalian derita) yaitu penderitaan kalian, yang dimaksud ialah penderitaan dan musibah yang menimpa diri kalian (sangat menginginkan bagi kalian) hidayah dan keselamatan (lagi terhadap orang-orang mukmin amat belas kasihan) sangat belas kasihan (lagi penyayang) ia selalu mengharapkan kebaikan bagi mereka.

129 Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah:` Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki arasy yang agung `.(QS. 9:129)
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah At Taubah 129

فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (129)

Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya bahwa jika orang-orang kafir dan munafik itu tidak juga mau beriman setelah didatangkan kepada mereka petunjuk, katakanlah kepada mereka: "Cukuplah Allah bagiku, dan Dia akan menolongku, tidak ada Tuhan yang lain yang disembah selain Dia, hanya kepada-Nyalah aku bertawakal dan menyerahkan diri, dan hanya Dialah yang mengatur dan mengurus alam semesta, Dia memiliki Arasy yang Agung."
Diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang ditugaskan oleh Umar r.a. untuk mengumpulkan Alquran yang masih belum terkumpul di masa Abu Bakar, sehubungan dengan pengumpulan Alquran itu ia berkata: ".... hingga aku memperoleh dua ayat terakhir dari surat At-Taubah pada catatan Khuzaimah bin Sabit Al-Ansari, aku tidak memperolehnya sebelumnya dari seorang pun sedang kedua ayat itu dihafal dan dikenal oleh orang banyak." 138)

Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah At Taubah 129
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (129)
(Jika mereka berpaling) dari iman kepadamu (maka katakanlah, "Cukuplah bagiku) maksudnya cukup untukku (Allah; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal) percaya dan bukan kepada selain-Nya (dan Dia adalah Rabb yang memiliki Arasy) yakni Al-Kursiy (yang agung.") Arasy disebutkan secara khusus karena ia makhluk yang paling besar. Imam Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak meriwayatkan sebuah atsar yang bersumber dari Ubay bin Kaab, bahwasanya Ubay bin Kaab telah mengatakan, "Ayat yang diturunkan paling akhir ialah firman-Nya, 'Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul.'" (Q.S. At-Taubah 128-129). Kedua ayat akhir surah At-Taubah itulah ayat yang paling terakhir diturunkan.

Surah AT-TAUBAH
<<KEMBALI KE DAFTAR SURAH                         DAFTAR SURAH AT-TAUBAH>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar