Senin, 26 Maret 2012

Al Baqarah 280 s/d 286

Kembali ke Daftar Surah                               Kembali ke Daftar Surah
TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 280
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/559-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-280.html

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ  

Ayat ini merupakan lanjutan ayat yang sebelumnya. Ayat yang lalu memerintahkan agar orang yang beriman menghentikan perbuatan riba setelah turun ayat di atas. Para pemberi utang menerima kembali pokok yang dipinjamkannya. Maka ayat ini menerangkan: Jika pihak yang berutang itu dalam kesukaran berilah dia tempo, hingga dia sanggup membayar utangnya. Sebaliknya bila yang berutang dalam keadaan lapang, ia wajib segera membayar utangnya.

Rasulullah saw. bersabda: 



مطل الغني ظلم 
Artinya: 
Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah perbuatan zalim.  (HR Bukhari dan Muslim) 

Dalam pada itu Allah swt. menyatakan bahwa memberi sedekah kepada orang yang berutang yang tidak sanggup membayar utangnya adalah lebih baik. Jika orang-orang yang beriman telah mengetahui perintah itu, hendaklah mereka melaksanakannya. 
Dari ayat ini dipahami juga bahwa: 

  1. Allah swt. memerintahkan agar memberi sedekah kepada orang yang berutang, yang tidak sanggup membayar utangnya. 
  2. Orang yang berpiutang wajib memberi tangguh kepada orang yang berutang bila mereka dalam kesulitan. 
  3. Bila seseorang mempunyai piutang pada seseorang yang tidak sanggup membayar utangnya diusahakan agar orang itu bebas dari utangnya dengan jalan membebaskan dari pembayaran utangnya baik sebahagian maupun seluruhnya atau dengan jalan yang lain yang baik.


TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 281
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/558-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-281.html

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ  

Setelah Allah swt. mengakhiri ayat-ayat riba dengan ayat yang lalu, maka Dia memperingatkan hamba-Nya secara umum agar manusia takut kepada-Nya. Di akhirat nanti mereka akan kembali kepada-Nya. Waktu itu dihitung dan dinilai seluruh perbuatan hamba, termasuk harta yang pernah didapat dan dipergunakan. Jika mereka lalai atau sedang terpengaruh oleh harta benda dan sebagainya, maka hendaklah mereka sadar dan ingat akan kedatangan hari itu. 
Pada hari itu Allah swt. menghukum dengan adil, tidak mengurangi pahala kebaikan sedikit pun dan tidak pula menambah siksa atas kejahatan yang diperbuat. 
Menurut riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas, ayat ini adalah ayat yang terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Dan Jibril a.s. berkata kepada Rasulullah saw.: "Letakkanlah ayat ini antara ayat "Wa in kaana zuu `usratin....(280) dan ayat "Ya Ayyuhal laziina aamanuu idzaa tadaayantum bidainin....(Al-Baqarah:282). Rasulullah saw. masih hidup selama 21 hari setelah turunnya ayat ini. Menurut riwayat yang lain beliau wafat 81 hari kemudian.


TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 282
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/557-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-282.html

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ  

Dengan adanya perintah membelanjakan harta di jalan Allah, anjuran bersedekah dan larangan melakukan riba, maka tidak boleh tidak manusia harus berusaha memelihara dan memperkembangkan hartanya, tidak menyia-nyiakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa harta itu sendiri bukan sesuatu yang dibenci Allah dan dicela agama Islam. Bahkan Allah swt. di samping memberi perintah untuk itu, juga memberi petunjuk dan menetapkan ketentuan-ketentuan umum serta hukum-hukum yang mengatur cara-cara mencari, memelihara, menggunakan dan menafkahkan harta di jalan Allah. Harta yang diperoleh sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah adalah harta yang paling baik, sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: 



نعم المال الصالح للمرء الصالح 
Artinya: 
Harta yang paling baik ialah harta kepunyaan orang saleh. (Ahmad dan At Tabrani dari Amar bin 'As) 

Yang dibenci Allah dan yang dicela agama Islam ialah harta yang diperoleh dengan cara-cara yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan Allah swt. dan harta orang-orang yang menjadikan dirinya sebagai budak harta. Seluruh kehidupan, usaha dan pikirannya dicurahkan untuk menumpuk harta dan memperkaya diri sendiri. Karena itu timbullah sifat-sifat tamak, serakah, bakhil dan kikir pada dirinya sehingga ia tidak mengindahkan orang yang miskin dan terlantar. 
Bersabda Rasulullah saw.: 
تعس عبد الدينار, تعس عبد الدرهم 
Artinya: 

"Celakalah budak dinar, celakalah budak dirham. (HR Bukhari dari Abu Hurairah) 

Dalam ayat ini Allah swt. memerintahkan kepada orang yang beriman agar mereka melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah setiap melakukan perjanjian perserikatan yang tidak tunai, yaitu melengkapinya dengan alat-alat bukti sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari. 
Pembuktian itu ialah: 

  1. Bukti tertulis 
  2. Saksi 

1.Bukti tertulis 

Bukti tertulis hendaklah ditulis oleh seorang juru tuli, yang menuliskan isi perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat-syarat juru tulis itu ialah: 

  • Hendaklah juru tulis itu orang adil, tidak memihak kepada salah satu dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak yang lain. 
  • Hendaklah juru tulis itu mengetahui hukum-hukum Allah terutama yang berhubungan dengan hukum perjanjian, sehingga ia dapat memberi nasihat dan petunjuk yang benar kepada pihak-pihak yang berjanji itu, karena juru tulis itu ikut bertanggung jawab dan menjadi juru pendamai antara pihak-pihak yang berjanji, seandainya terjadi perselisihan di kemudian hari. 

Dalam susunan ayat ini didahulukan menyebut sifat "adil" daripada sifat "berilmu" adalah karena sifat adil lebih utama ada pada seorang juru tulis. Banyak orang yang berilmu, tetapi mereka tidak adil, karena itu diragukan kebenaran petunjuk dan nasihat yang diberikannya. Orang yang adil sekalipun ilmunya kurang dapat diharapkan daripadanya nasihat dan petunjuk yang benar dan tidak memihak. 
Tugas juru tulis itu ialah menuliskan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji. Caranya ialah pihak yang berutang mendiktekan kepada juru tulis tentang sesuatu yang telah dipinjamnya dan cara serta pelaksanaan perjanjian itu dan sebagainya. Tujuan mendiktekan isi perjanjian itu oleh pihak yang berjanji ialah agar yang ditulis itu merupakan pengakuan dari pihak yang berutang, karena dengan tulisan semata-mata tanpa ada ucapan yang dilakukan oleh pihak yang berutang, maka yang ditulis itu saja tidak dapat dijadikan sebagai pengakuan. 
Dalam pada itu Allah memperingatkan orang-orang yang berjanji agar ia selalu menepati janjinya dengan baik. Hendaklah ia takut kepada Allah, hati-hati terhadap janji yang telah diucapkan, jangan sekali-kali dikurangi atau sengaja lalai dalam melaksanakannya. Hendaklah bersyukur kepada Allah yang telah melunakkan hati orang yang telah membantunya dalam kesukaran. Bila ia bersyukur, Allah akan selalu menjaga, memelihara serta memberinya petunjuk ke jalan yang mudah dan ke jalan kebahagiaan. 
Jika orang yang berjanji itu adalah orang yang lemah akalnya atau dia sendiri tidak berkesanggupan untuk mendiktekan, maka hak untuk mendiktekan itu pindah ke tangan wali yang bersangkutan. Hendaklah wali itu orang yang adil dan mengetahui tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan muamalah. Hendaklah para wali berhati-hati dalam melaksanakan tugas perwalian itu. 
Yang dimaksud dengan "orang yang lemah akalnya" ialah orang yang belum cakap memelihara dan menggunakan hartanya. Orang yang tidak sanggup mengimlakkan ialah seperti orang bisu, orang yang gagap dan sebagainya. 

2. Saksi 

"Saksi" ialah orang yang melihat dan mengetahui terjadinya sesuatu kejadian atau peristiwa. Persaksian termasuk salah satu dari alat-alat bukti (bayyinah) yang dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan sesuatu perselisihan atau perkara. 
Menurut ayat ini persaksian dalam muamalah sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang laki-laki atau jika tidak ada dua orang laki-laki boleh dilakukan oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan. 
Mengenai syarat-syarat laki-laki bagi yang akan menjadi saksi adalah sebagai berikut: 

  • Saksi itu hendaklah seorang muslim. Pendapat ini berdasarkan perkataan "min rijaalikum" (dari orang laki-laki di antara kamu orang-orang yang beriman) yang terdapat di dalam ayat. Dari perkataan ini dipahami bahwa saksi itu hendaklah seorang muslim. Menurut sebagian ulama, beragama Islam bukanlah merupakan syarat bagi seorang saksi dalam muamalah. Karena tujuan persaksian di dalam muamalah ialah agar ada alat-alat bukti seandainya terjadi perselisihan atau perkara antara pihak-pihak yang berjanji di kemudian hari. Karena itu orang yang tidak beragama Islam dibolehkan menjadi saksi asal saja tujuan mengadakan persaksian itu dapat tercapai. 
  • Saksi itu hendaklah seorang yang adil, tidak memihak sehingga tercapailah tujuan diadakannya persaksian, sesuai dengan firman Allah swt.: 


وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ 
Artinya: 

....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu. (Q.S At Talaq: 2) 

Selanjutnya ayat ini membedakan persaksian laki-laki dengan persaksian perempuan. Seorang saksi laki-laki dapat diganti dengan dua orang saksi perempuan. 
Para ulama berbeda pendapat tentang apa sebabnya Allah membedakan jumlah saksi laki-laki dengan jumlah saksi perempuan itu. Alasan yang sesuai dengan akal pikiran ialah bahwa laki-laki dan perempuan itu masing-masing diciptakan Allah mempunyai kelebihan dan kekurangan. Masing-masing mempunyai kesanggupan dan kemampuan dalam suatu lapangan lebih besar dari kesanggupan pihak yang lain. Dalam bidang muamalah laki-laki lebih banyak mempunyai kemampuan dibandingkan dengan perempuan dan pada umumnya muamalah itu lebih banyak laki-laki yang mengerjakannya. Karena perhatian perempuan kurang dibandingkan dengan perhatian laki-laki dalam bidang muamalah, maka pemikiran dan ingatan mereka dalam bidang ini pun kurang pula. Bila persaksian dilakukan oleh seorang wanita, kemungkinan ia lupa, ,karena itu hendaklah ada wanita yang lain yang ikut sebagai saksi yang dapat mengingatkannya. 
Menurut Syekh Ali Ahmad Al-Jurjani: "Laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedang wanita lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu wanita lebih lemah iradahnya, kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila ia dalam keadaan benci dan marah, ia akan gembira atau sedih karena sesuatu hal yang kecil. Lain halnya dengan laki-laki, ia sanggup, tabah dan sabar menanggung kesukaran, ia tidak menetapkan sesuatu urusan kecuali setelah memikirkannya dengan matang." 
Bidang muamalah adalah bidang yang lebih banyak menggunakan pikiran daripada perasaan. Dalam pada itu seorang saksi dalam muamalah juga berfungsi sebagai juru pendamai antara pihak-pihak yang berjanji bila terjadi perselisihan di kemudian hari. Berdasarkan keterangan Syekh Ali Ahmad Al-Jurjani dan keterangan-keterangan berikutnya diduga itulah di antara hikmah mengapa Allah menyamakan saksi seorang laki-laki dengan saksi dua orang perempuan. 
Menurut Imam Syafii: "Penerimaan persaksian seseorang saksi hendaklah dengan bersumpah. Beliau beralasan dengan sunah Rasulullah saw. yang mana beliau menyuruh saksi mengucapkan sumpah sebelum mengucapkan kesaksiannya." Sedang menurut Abu Hanifah: "Penerimaan kesaksian seorang tidak perlu disertai dengan sumpah." 
Dalam ayat ini disebutkan bahwa "janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil", maksudnya ialah: 

  1. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi dalam suatu kejadian atau peristiwa, bila kesaksiannya diperlukan.
  2. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi bila terjadi suatu perkara, sedang ia adalah orang yang mengetahui terjadinya peristiwa itu. 
  3. Hendaklah seseorang bersedia menjadi saksi terhadap suatu peristiwa yang terjadi, bila tidak ada orang lain yang akan menjadi saksi. 

Diriwayatkan oleh Ar-Rabi' bahwa ayat ini diturunkan ketika seorang laki-laki mencari saksi di kalangan orang banyak untuk meminta persaksian mereka, tetapi tidak seorang pun yang bersedia. 
Menurut suatu pendapat yang dimaksud dengan "janganlah mereka enggan" ialah janganlah mereka enggan menerima permintaan menjadi saksi dan melaksanakannya. Enggan melakukan keduanya itu hukumnya haram. Hukum melakukan persaksian itu fardu kifayah. 
Kemudian Allah SWT. menjelaskan lagi perintah-Nya, agar orang-orang yang beriman jangan malas dan jangan jemu menuliskan perjanjian yang akan dilakukannya baik kecil maupun besar dan dijelaskan syarat-syarat dan waktunya. 
Dalam ayat ini Allah mendahulukan menyebut "yang kecil" dari "yang besar", karena kebanyakan manusia selalu memandang enteng dan menganggap mudah perjanjian yang kecil. Orang yang bermudah-mudah dalam perjanjian yang kecil tentu ia akan bermudah-mudah pula dalam perjanjian yang besar. Dari ayat ini juga dapat dipahamkan bahwa Allah memperingatkan kepada manusia agar berhati-hati dalam persoalan hak dan kewajiban, sekalipun hak dan kewajiban itu kecil. 
Allah swt. menyebutkan hikmah perintah dan larangan yang terdapat pada permulaan ayat ini ialah untuk menegakkan keadilan, menegakkan persaksian, untuk menimbulkan keyakinan dan menghilangkan keragu-raguan. 
Jika perdagangan dilakukan secara tunai, maka tidaklah ia berdosa bila tidak dituliskannya. Dari ayat ini dipahami bahwa sekalipun tidak berdosa bila tidak menuliskan perdagangan secara tunai itu, namun yang paling baik ialah bila selalu dituliskannya, baik tunai atau tidak. 
Sekalipun tidak diwajibkan menuliskan perdagangan tunai itu namun Allah swt. memerintahkan untuk mendatangkan saksi-saksi. Perintah di sini bukan wajib, hanyalah memberi pengertian sunat. Tujuannya ialah agar manusia selalu berhati-hati di dalam muamalah. 
Selanjutnya Allah swt. memperingatkan agar juru tulis, saksi dan orang-orang yang melakukan perjanjian memudahkan pihak-pihak yang lain, jangan menyulitkan dan jangan pula salah satu pihak bertindak yang berakibat merugikan pihak yang lain. Sebab terlaksananya perjanjian dengan baik bila masing-masing pihak mempunyai niat yang baik terhadap pihak yang lain. 
Berfirman Allah swt.: 

وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ 
Artinya: 
Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. (Q.S Al Baqarah: 237) 
Jika seseorang mempersulit atau merugikan orang lain, maka perbuatan yang demikian adalah perbuatan orang-orang fasik, dan tidak menaati ketentuan-ketentuan dari Allah swt. 
Pada akhir ayat ini Allah swt. memerintahkan agar manusia bertakwa kepada-Nya dengan memelihara diri supaya selalu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menghentikan larangan-larangan-Nya. Dia mengajarkan kepada manusia segala yang berguna baginya, yaitu cara-cara memelihara harta, cara menggunakannya sedemikian rupa sehingga menimbulkan ketenangan bagi dirinya dan orang-orang yang membantunya dalam usaha mencari dan menggunakan harta itu. Allah mengetahui segala sesuatu yang diperbuat manusia, dan Dia akan memberi balasan sesuai dengan perbuatan itu.


TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 283
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/556-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-283.html

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (283) 

Ayat ini menerangkan tentang muamalah yang dilakukan tidak secara tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada juru tulis yang akan menuliskannya. 
Dalam hal muamalah yang tidak tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang dipegang oleh pihak yang berpiutang. Kecuali jika masing-masing percaya-mempercayai dan menyerahkan/berserah diri kepada Allah, maka muamalah itu boleh dilakukan tanpa adanya barang tanggungan. 
Ayat ini tidaklah menetapkan bahwa borg itu hanya boleh dilakukan dengan syarat dalam perjalanan, muamalah tidak dengan tunai dan tidak ada juru tulis, tetapi ayat ini hanya menyatakan bahwa dalam keadaan tersebut boleh dilakukan muamalah dengan memakai borg. Dalam keadaan yang lain boleh juga memakai borg sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Bukhari bahwa Nabi Muhammad saw. pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi di Madinah. 
Pada ayat yang lalu Allah swt. memperingatkan bahwa manusia janganlah enggan menjadi juru tulis atau enggan memberikan persaksian bila diminta. Kemudian pada ayat ini Allah menegaskan lagi agar jangan menyembunyikan kesaksian. Penegasan yang demikian mengisyaratkan bahwa penulisan dan kesaksian itu menolong manusia dalam menjaga hartanya, dan janganlah lengah melakukannya, demikian pula janganlah hendaknya pemilik harta disusahkan karena meminjamkan hartanya, dan tidak dibayar pada waktunya. 
Firman Allah swt.: 

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا ) 
Artinya: 

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, (karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya. (Q.S Al Isra': 36) 

Dengan keterangan di atas bukanlah berarti bahwa semua perjanjian muamalah wajib ditulis juru tulis dan disaksikan oleh saksi-saksi, tetapi maksudnya agar kaum muslimin selalu memikirkan dan meneliti terhadap muamalah yang akan dilakukannya. Bila muamalah itu muamalah yang dilakukan setiap hari, seperti jual beli yang dilakukan di pasar sehari-hari dan tidak menimbulkan akibat yang tidak diingini di kemudian hari serta dilandasi percaya-mempercayai, maka muamalah yang demikian tidak perlu ditulis dan disaksikan. Sebaliknya bila muamalah itu diduga akan menimbulkan hal-hal yang tidak diingini di kemudian hari, maka muamalah itu wajib ditulis dan disaksikan.


TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 284
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/555-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-284.html



لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (284) 
Dari ayat ini dapat diambil pengertian tentang kesempurnaan keesaan Allah swt. dalam hal: 

  1. Esa dalam kekuasan-Nya. 
  2. Esa dalam mengetahui segala yang terjadi di alam ini. 

Allah swt. Esa dalam memiliki seluruh makhluk, maksudnya ialah hanya Allah swt. sajalah yang menciptakan, menumbuhkan, mengembangkan dan memiliki seluruh alam ini, tidak ada sesuatu pun yang berserikat dengan Dia.
Allah swt. Esa dalam mengetahui segala sesuatu di alam ini maksudnya ialah Allah swt. mengetahui yang besar dan yang kecil, yang tampak dan yang tidak tampak oleh manusia. Segala yang terjadi, yang wujud di alam ini, maka wujudnya itu tidak lepas dari pengetahuan Allah, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya. 
Allah swt. Esa dalam kekuasaan-Nya, maksudnya ialah apa yang terjadi di alam ini adalah atas kehendak Allah, tidak ada sesuatu pun yang dapat merubah kehendak-Nya. Apabila Dia menghendaki adanya sesuatu, maka adalah dia, sebaliknya apabila Dia menghendaki lenyapnya sesuatu, lenyaplah ia. Hanya Dialah yang dapat mengetahui perbuatan hamba-Nya, serta mengampuni atau mengazabnya dan keputusan yang adil hanyalah di tangan-Nya saja. 
Yang ada di dalam hati manusia itu ada dua macam: 
Pertama: Sesuatu yang ada di dalam hati yang datang dengan sendirinya tergerak tanpa ada yang menggerakkannya, terlintas di dalam hati dengan sendirinya. Gerak yang demikian tidak berdasarkan iradah (kehendak) dan ikhtiar (pilihan) manusia, hanya timbul saja dalam hatinya. Hal yang seperti ini tidak dihukum dan dihisabi Allah swt., kecuali bila diikuti dengan iradah, niat dan ikhtiar. 
Kedua: Sesuatu yang ada di dalam hati yang timbul dengan usaha, pikiran, hasil renungan dan sebagainya. Gerak yang seperti ini berubah menjadi cita-cita keinginan yang kuat, sehingga timbullah iradah, niat dan ikhtiar untuk melaksanakannya. Gerak hati yang seperti inilah yang dihisab dan dijadikan dasar dalam menentukan balasan pekerjaan manusia. 
Oleh sebab itu Allah swt. memerintahkan agar manusia selalu mengawasi, meneliti dan merasakan apa yang ada di dalam hatiya. Bila yang ada itu sesuai dengan perintah Allah dan tidak berlawanan dengan larangan-larangan-Nya, maka peliharalah dan hidup suburkanlah dia sehingga mewujudkan amal yang baik. Sebaliknya bila yang ada di dalam hati itu bertentangan dengan perintah-perintah Allah atau memungkinkan seseorang mengerjakan larangan-Nya, hapuskan segera dan enyahkanlah yang demikian itu, sehingga tidak sampai mewujudkan perbuatan dosa. Hendaklah manusia waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan masuknya sesuatu yang tidak baik di dalam hatinya, sehingga mewujudkan perbuatan dosa. 
Sebagai contoh ialah rasa dengki, pada mulanya tumbuh karena rasa tidak senang kepada seseorang. Perasaan itu bertambah setiap ada peristiwa yang menyuburkannya. Kemudian timbullah marah, dendam, ingin membalas dan sebagainya. Jika telah demikian perasaannya, sukarlah untuk menghilangkannya dengan segera. Bahkan dikhawatirkan dapat melahirkan perbuatan dosa. Tetapi bila dipadamkan perasaan itu pada saat ia mulai tumbuh, maka rasa dengki itu tidak akan timbul, dan kalau pun timbul dapat dihilangkan dengan mudah. 
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata: "Tatkala Allah swt. menurunkan ayat 284 ini kepada Rasulullah saw., maka sahabat merasa bebannya bertambah berat, lalu mereka datang menghadap Rasulullah saw. dan berkata: "Kami telah dibebani dengan pekerjaan-pekerjaan yang sanggup kami mengerjakannya, yaitu salat, puasa, jihad, sedekah, dan kini telah turun pula ayat ini yang kami tidak sanggup melaksanakannya. Maka Rasulullah saw. bersabda: "Apakah kamu hendak mengatakan seperti perkataan ahli kitab sebelum kamu, mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami durhaka." Katakanlah: "Kami dengar dan kami taat, kami memohon ampunan-Mu, ya Tuhan kami, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali. Maka tatkala Rasulullah saw. membacakan ayat ini kepada mereka, lidah mereka mengikutinya. Lalu Allah swt. menurunkan ayat berikutnya, yaitu ayat 285 Al-Baqarah. Berkata Abu Hurairah: "Tatkala para sahabat telah mengerjakan yang demikian Allah swt. menghilangkan kekhawatiran mereka terhadap ayat itu dan Dia menurunkan ayat berikutnya. Allah swt. berfirman: 

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا 
Artinya: 

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S Al Baqarah: 286) 

Hadis di atas melukiskan kekhawatiran para sahabat yang sangat takut kepada azab Allah. Para sahabat dahulunya adalah orang-orang yang hidup, dididik dan dibesarkan di dalam lingkungan kehidupan Arab Jahiliyah. Pikiran, hati, kepercayaan dan adat istiadat Jahiliyah telah sangat berpengaruh di dalam diri mereka. Bahkan di antara mereka adalah pemuka dan pemimpin orang-orang Arab Jahiliyah. Setelah Nabi Muhammad saw. diutus, mereka mengikuti seruan Nabi dan masuk agama Islam dengan sepenuh hati. Walaupun demikian bekas-bekas pengaruh kepercayaan dan kebudayaan Arab Jahiliyah masih ada di dalam jiwa mereka. Hal ini hilang dan hapus secara berangsur-angsur, setiap turun ayat-ayat Alquran dan setiap menjelaskan risalah yang dibawanya kepada mereka. Dalam pada itu mereka sendiri selalu berusaha agar bekas dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik itu segera hilang dari diri mereka. Tatkala turun ayat ini mereka merasa khawatir, kalau-kalau Allah swt. tidak mengampuni dosa-dosa mereka, sebagai akibat dari bekas-bekas kepercayaan dan kebudayaan Arab Jahiliyah yang masih ada pada hati dan jiwa mereka, walaupun mereka telah berusaha sekuat tenaga menghilangkannya. Karena kecemasan dan kekhawatiran itulah mereka segera bertanya kepada Rasulullah saw. 
Rasa kekhawatiran akan diazab Allah swt. itu tergambar pada pertanyaan Umar bin Khattab kepada Huzaifah. Beliau pernah bertanya kepada Huzaifah: "Adakah engkau (Huzaifah) dapati dari diriku salah satu dari tanda-tanda munafik?" Maka untuk menghilangkan kekhawatiran itu dan menenteramkan hati mereka maka turunlah ayat: 

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا 
Artinya: 

Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya....(Q.S Al Baqarah: 286) 

Dengan turunnya ayat ini, hati para sahabat merasa tenang dan tenteram, karena mereka telah yakin bahwa segala larangan dan perintah Allah swt. itu adalah sesuai dengan batas kemampuan manusia. Tidak ada perintah-perintah dan larangan-larangan Allah yang tidak sanggup manusia melakukan atau menghentikannya. Hanya orang-orang yang ingkar kepada Allah sajalah yang merasa berat menghentikan larangan-larangan-Nya. Dan mereka telah yakin pula bahwa pekerjaan buruk yang terlintas di dalam pikiran mereka dan mereka benci pula kepada pekerjaan itu, telah mereka usahakan menghilangkannya, karena itu mereka tidak akan dihukum. 
Allah swt. berfirman: 

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (225) 
Artinya: 

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Q.S Al Baqarah: 225) 

Selanjutnya Allah swt. menerangkan bahwa Dia menghisab (menghitung) apa yang ada di dalam hati manusia, baik yang disembunyikan atau yang dinyatakan dan dengan perhitungan-Nya itu, Dia membalas perbuatan manusia dengan adil karena perhitungan dan pembalasan itu dilandasi dengan sifat Allah Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya. 
Kemudian Allah swt. menegaskan bahwa dengan karunia-Nya Dia mengampuni hamba-Nya dan mengazabnya dengan adil serta memberi pahala yang berlipat ganda kepada orang yang mengerjakan amal saleh. 
Akhirnya Allah swt. menyatakan bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dari ayat ini dipahami bahwa karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, maka mintalah pertolongan kepada-Nya agar dapat melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menghentikan larangan-Nya, mohonkan taufik dan hidayah-Nya.


TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 285
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/554-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-285.html

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (285)
Surah Al-Baqarah dimulai dengan menerangkan bahwa Alquran tidak ada keraguan padanya dan juga menerangkan sikap manusia terhadapnya, yaitu ada yang beriman, ada yang kafir dan ada yang munafik. Selanjutnya disebutkan hukum-hukum salat, zakat, puasa, haji, pernikahan, jihad, riba, hukum perjanjian dan sebagainya. Ayat ini adalah sebagai ayat penutup surah Al-Baqarah yang menegaskan sifat Nabi Muhammad saw. dan para pengikutnya terhadap Alquran itu. Mereka mempercayainya, menjadikannya sebagai pegangan hidup untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan ayat ini juga menegaskan akan kebesaran dan kebenaran Nabi Muhammad saw. dan orang-orang yang beriman, dan menegaskan bahwa hukum-hukum yang tersebut itu adalah hukum-hukum yang benar. 
Dengan ayat ini Allah swt. menyatakan dan menetapkan bahwa Rasulullah saw. dan orang-orang yang beriman, benar-benar telah mempercayai Alquran, mereka tidak ragu sedikit pun dan mereka meyakini benar Alquran itu. 
Pernyataan Allah swt. ini terlihat pada diri Rasulullah saw. dan pribadi-pribadi orang mukmin, terlihat pada kesucian dan kebersihan hati mereka, ketinggian cita-cita mereka, ketahanan dan ketabahan hati mereka menerima cobaan-cobaan dalam menyampaikan agama Allah, sikap mereka di waktu mencapai kemenangan dan menghadapi kekalahan, sikap mereka terhadap musuh-musuh yang telah dikuasai, sikap mereka di waktu ditawan dan sikap mereka di waktu memasuki daerah-daerah luar Jazirah Arab. 
Sikap dan watak yang demikian adalah sikap dan watak yang ditimbulkan oleh ajaran-ajaran Alquran dan ketaatan melaksanakan hukum Allah swt. Inilah yang dimaksud dengan jawaban Aisyah r.a. ketika ditanya tentang akhlak Nabi Muhammad saw. beliau menjawab: 

ألست تقرأ القرآن؟ قلت بلي قالت : فإن خلق نبي الله كان القرآن 
Artinya: 
Bukankah engkau selalu membaca Alquran?" Jawabnya: "Ya." Aisyah berkata: "Maka sesungguhnya akhlak Nabi itu sesuai dengan Alquran." 
(HR Muslim) 
Seandainya Nabi Muhammad saw. tidak meyakini benar ajaran-ajaran yang dibawanya dan tidak berpegang kepada kebenaran dalam melaksanakan tugas-tugasnya, tentulah ia dan pengikutnya tidak akan berwatak demikian. Ia akan ragu-ragu dalam melaksanakan cita-citanya, ragu-ragu menceritakan kejadian-kejadian umat yang dahulu yang tersebut di dalam Alquran, terutama dalam menghadapi reaksi orang-orang Yahudi dan Nasrani. Apalagi mengingat bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah orang yang banyak pengetahuan mereka tentang sejarah purbakala di masa itu, karena itu Nabi Muhammad selalu memikirkan dan tetap meyakini kebenaran setiap yang akan beliau kemukakan kepada mereka. 
Dalam pada itu orang-orang yang hidup di zaman Nabi, baik pengikut beliau maupun orang-orang yang mengingkari, semuanya mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang kepercayaan, bukan seorang pendusta. 
Tiap-tiap orang yang beriman itu yakin akan adanya Allah Yang Maha Esa, hanya Dia sendirilah yang menciptakan makhluk, tidak berserikat dengan sesuatu pun. Mereka percaya kepada kitab-kitab Allah yang telah diturunkan-Nya kepada para Nabi-Nya, percaya kepada malaikat-malaikat Allah, dan malaikat yang menjadi penghubung antara Allah swt. dengan rasul-rasul-Nya, pembawa wahyu Allah. Mengenai keadaan zat, sifat-sifat dan pekerjaan-pekerjaan malaikat itu termasuk ilmu Allah, hanya Allah swt. yang Maha Tahu. Percaya kepada malaikat merupakan pernyataan percaya kepada Allah swt. 
Dinyatakan pula pendirian kaum muslimin terhadap para rasul, yaitu mereka tidak membeda-bedakan antara rasul-rasul Allah; mereka berkeyakinan bahwa semua rasul itu sama, baik pengikutnya sedikit maupun banyak, baik hukum-hukum yang dibawanya ringan atau berat, banyak atau sedikit, semuanya adalah sama, perbedaan itu disesuaikan dengan keadaan, kesanggupan dan kemaslahatan umat-umat mereka. 
Firman Allah swt.: 

قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (136)
Artinya: 
Katakanlah (hai orang-orang mukmin), "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kamu dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. (Q.S Al Baqarah: 136) 
Dalam pada itu Allah swt. menerangkan bahwa masing-masing rasul itu mempunyai keutamaan dibandingkan dengan rasul-rasul yang lain. Suatu keutamaan yang dipunyai seorang rasul mungkin tidak dipunyai oleh rasul yang lain, dan rasul yang lain itu mempunyai keutamaan pula. 
Berfirman Allah swt.: 

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى
Artinya: 
Rasul-rasul itu kami lebihkan sebahagian (dari) mereka atas sebahagian yang lain. (Q.S Al Baqarah: 253) 
Ayat ini mengisyaratkan keutamaan umat Islam atas umat-umat lainnya yang membedakan rasul-rasul Allah. Ada yang mereka percayai dan ada yang tidak mereka percayai. Bahkan sebahagian dari para rasul itu semasa hidupnya mereka perolok-olokkan. 
Allah swt. menerangkan lagi sifat-sifat lain yang dimiliki orang Islam. Yaitu apabila mereka mendengar sesuatu perintah atau larangan Allah, mereka mendengar dengan penuh perhatian, melaksanakan perintah-perintah itu, dan menghentikan larangan-larangan-Nya, karena mereka merasakan kebesaran kekuasaan Allah dan yakin bahwa hanya Allah sajalah yang wajib disembah dan ditaati. 
Oleh karena orang-orang mukmin mempunyai sifat-sifat yang demikian, maka mereka selalu memanjatkan doa kepada Allah, yaitu: "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah kami kembali." 
Sesungguhnya doa-doa orang-orang yang beriman bukanlah sekedar untuk meminta ampun kepada Allah swt. atas kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat, bahkan juga memohon ke hadirat Allah agar selalu diberi-Nya taufik dan hidayat, agar dapat melaksanakan segala perintah-Nya dan menghentikan segala larangan-Nya. 
Dari doa ini dapat dipahami juga bahwa orang-orang yang beriman selalu berusaha melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan larangan-larangan-Nya setelah mereka mendengar, memahami perintah dan larangan itu. Dalam pada itu mereka sadar bahwa mereka seorang manusia yang tidak sempurna, tidak luput dari kekurangan-kekurangan. Sekalipun hati dan jiwa mereka telah berjanji akan melaksanakan perintah dan larangan Allah setelah mendengar dan mmahaminya tetapi tanpa mereka sadari, mereka sering tersalah, lupa dan lalai, sehingga mereka mengabaikan perintah dan larangan itu. Sekalipun mereka telah mengetahui bahwa Allah swt. tidak akan menghukum manusia karena tersalah, lupa dan lalai, tetapi orang-orang yang beriman merasa dirinya wajib memohon ampun dan bertobat kepada Allah, agar Allah swt. tidak menghukumnya karena perbuatan yang demikian itu. 
Pengaruh iman yang demikian tampak pada tingkah laku sifat-sifat, tindakan dan perbuatan mereka. Semuanya itu dijuruskan dan diarahkan ke jalan yang diridai Allah. Hal ini dipahami dari pernyataan mereka: "Hanya kepada Engkaulah kami kembali." 
Pernyataan ini mengungkapkan hakekat hidup manusia yang sebenarnya, menggariskan pedoman hidup dan tujuan akhir yang harus dicapai oleh manusia.



TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 286
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/553-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-286.html


لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286) 

Ayat ini menerangkan bahwa dalam mencapai tujuan hidup itu manusia diberi beban oleh Allah swt. sesuai kesanggupannya, mereka diberi pahala lebih dari yang telah diusahakannya dan mendapat siksa seimbang dengan kejahatan yang telah dilakukannya. 
Dengan ayat ini Allah swt. mengatakan bahwa seseorang dbebani hanyalah sesuai dengan kesanggupannya. Agama Islam adalah agama yang tidak memberati manusia dengan beban yang berat dan sukar. Mudah, ringan dan tidak sempit adalah asas pokok dari agama Islam. 
Allah berfirman: 



وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ 
Artinya: 
....dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.... (Q.S Al Hajj: 78) 

Dan firman Allah swt.: 
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا (28) 
Artinya: 

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah. (Q.S An Nisa': 28) 

Dan firman-Nya pula: 

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ 
Artinya: 

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.... (Q.S Al Baqarah: 185) 

Kemudian Allah swt. menerangkan hasil beban yang telah dibebankan dan dilaksanakan oleh manusia, yaitu amal saleh yang dikerjakan mereka, maka balasannya akan diterima dan dirasakan oleh mereka berupa pahala dan surga. Sebaliknya perbuatan dosa yang dikerjakan oleh manusia, maka hukuman karena mengerjakan perbuatan itu akan dirasakan dan ditanggung pula oleh mereka, yaitu siksa dan azab di neraka. 
Ayat ini mendorong manusia agar mengerjakan perbuatan yang baik serta menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh agama. 
Ayat ini memberi pengertian bahwa perbuatan baik itu adalah perbuatan yang mudah dikerjakan manusia karena sesuai dengan watak dan tabiatnya, sedang perbuatan yang jahat adalah perbuatan yang sukar dikerjakan manusia karena tidak sesuai dengan watak dan tabiatnya. 
Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yang suci dan telah tertanam dalam hatinya jiwa ketauhidan. Sekalipun manusia oleh Allah swt. diberi persediaan untuk menjadi baik dan persediaan menjadi buruk, tetapi dengan adanya jiwa tauhid yang telah tertanam dalam hatinya sejak ia masih dalam rahim ibunya, maka tabiat ingin mengerjakan kebajikan itu lebih nyata dalam hati manusia dibanding dengan tabiat ingin mengerjakan kejahatan. 
Adanya keinginan yang tertanam pada diri seseorang untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang baik akan memberikan kemungkinan baginya untuk mendapat jalan yang mudah dalam mengerjakan pekerjaan itu apalagi bila ia berhasil dan dapat menikmati usahanya itu, maka dorongan dan semangat untuk mengerjakan pekerjaan baik yang lain semakin bertambah pada dirinya. 
Segala macam pekerjaan jahat adalah pekerjaan yang bertentang dan tidak sesuai dengan tabiat manusia. Mereka melakukan perbuatan jahat pada mulanya adalah karena terpaksa. Bila ia mengerjakan perbuatan jahat, maka timbullah pada dirinya semacam rasa takut, selalu khawatir akan diketahui oleh orang lain. Perasaan ini akan bertambah setiap melakukan kejahatan. Akhirnya timbullah rasa malas, rasa berdosa pada dirinya dan merasa dirinya dibenci oleh orang lain. 
Rasulullah saw. : 

البر حسن الخلق والإثم ما حاك في صدرك وكرهت أن يطلع عليه الناس 
Artinya: 

Kebaikan itu adalah budi pekerti yang baik, dan dosa itu adalah apa-apa yang tergores di dalam hatimu sedang engkau tidak suka orang lain mengetahuinya. 

(HR Muslim) 
Kesukaran yang timbul akibat perbuatan jahat ini akan bertambah terasa oleh manusia bila ia telah mulai menerima hukuman langsung atau tidak langsung dari perbuatannya itu. 
Dari ayat ini juga dipahami pula bahwa seseorang tidak akan menerima keuntungan atau kerugian disebabkan perbuatan orang lain; mereka tidak akan diazab karena dosa orang lain. Mereka diazab hanyalah karena kejahatan yang mereka lakukan sendiri. 
Allah swt. berfirman: 

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39) 
Artinya: 

(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (Q.S An Najm: 38-39) 

Termasuk usaha manusia ialah anaknya yang saleh yang mendoakannya, sedekah jariyah yang dikeluarkannya dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat yang diajarkannya. 
Rasulullah saw.: 

إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث : ولد صالح يدعو له أو صدقة جارية أوعلم ينتفع به 
Artinya: 

Apabila seseorang telah meninggal dunia, putuslah (pahala) amalnya kecuali tiga hal, yaitu anak yang saleh yang mendoakannya, sedekah jariah, dan ilmu yang bermanfaat. 

(HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah) 
Setelah Allah swt. menerangkan sifat orang-orang yang beriman dan menyebutkan karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, yaitu tidak membebani hamba dengan yang tidak sanggup mereka kerjakan, maka Allah swt. mengajarkan doa untuk selalu dimohonkan kepada-Nya agar diampuni dari segala dosa karena mengerjakan perbuatan terlarang disebabkan lupa atau tersalah. 
Allah swt. mengajarkan doa kepada hamba-hamba-Nya bukanlah sekedar untuk dibaca dan diulang-ulang lafaznya saja, melainkan maksudnya ialah agar berdoa itu dibaca dengan tulus ikhlas dengan sepenuh hati dan jiwa, di samping melakukan segala perintah-Nya dan menghentikan larangan-Nya, sesuai dengan kesanggupan hamba itu sendiri. 
Doa erat hubungannya dengan tindakan dan perbuatan. Tindakan dan perbuatan erat pula hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Sebab itu orang yang berdoa belumlah dapat dikatakan berdoa, bila ia tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan yang harus dikerjakan serta menjauhi larangan yang harus dihentikannya. Ia bertindak, berbuat dan beramal haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan itu. Ada amal yang sanggup dikerjakannya dan ada amal yang tidak sanggup dikerjakannya, ada amal yang dikerjakan dengan sempurna dan ada pula amal yang tidak dapat dikerjakan dengan sempurna. Untuk menyempurnakan kekurangan ini, maka Allah swt. mengajarkan doa kepada hamba-Nya. Dengan perkataan lain doa itu menyempurnakan amal yang tidak sanggup dikerjakan dengan sempurna. 
Dari doa yang diajarkan Allah swt. itu dipahami bahwa pada hakekatnya perbuatan terlarang yang dikerjakan karena lupa atau tersalah ada juga hukumannya dan hukuman itu ditimpakan kepada pelakunya. Karena itu Allah swt. mengajarkan doa tersebut kepada hamba-Nya agar dia terhindar dari hukuman itu. 
Setelah Allah swt. mengajarkan doa kepada hamba-Nya supaya ia mohonkan ampunan kepada Allah dari segala perbuatan yang dilakukannya karena lupa dan tersalah, maka Allah swt. mengajarkan doa yang lain untuk memohon agar ia tidak diberati beban yang berat sebagaimana yang telah dibebankan Allah swt. kepada orang-orang dahulu. Misalnya kepada Bani Israil pernah dibebankan kewajiban untuk memotong bahagian pakaian yang kena najis, dan membayar zakat seperempat dari jumlah harta, dan sebagainya. Kemudian Allah juga mengajarkan doa untuk memohon kepada-Nya agar ia tidak diberati beban yang tidak sanggup dilaksanakannya. 
Doa ini merupakan kabar gembira dari Allah swt. kepada Nabi saw. dan orang yang mengikutinya, bahwa agama yang dibawa Nabi saw. adalah agama yang mudah, tidak sempit, tidak sulit, bahkan memudahkan bagi manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, yaitu kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 
Di antara doa orang-orang yang beriman ini ialah yang berbunyi sebagai berikut: "Ya Allah, hapuskanlah bekas-bekas kesalahan kami, baik yang telah diampuni maupun yang belum dan janganlah kami diazab karena dosa perbuatan yang telah kami kerjakan, janganlah kami disiksa karenanya, berilah kami taufik dan hidayah dalam segala perbuatan kami, sehingga kami dapat melaksanakan perintah-perintah Engkau dengan mudah." 
Pada akhir ayat ini Allah mengajarkan agar memanjatkan doa kepada-Nya, memohon pertolongan-Nya dalam menghadapi orang-orang kafir. Pertolongan yang dimohonkan di sini ialah pertolongan agar mencapai kemenangan. Yang dimaksud kemenangan ialah kemenangan dunia dan akhirat, bukan semata-mata kemenangan dalam peperangan.


Kembali ke Daftar Surah                               Kembali ke Daftar Surah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar