Senin, 26 Maret 2012

Al Baqarah 231 s/d 235

Kembali ke Daftar Surah                                     Kembali ke Daftar Surah 
TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 231
 http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/669-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-231.html

 

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ  

Ayat ini mengutarakan cara yang mesti dilakukan oleh suami yang telah menjatuhkan talak kepada istrinya sebagai penjelasan bagi ayat-ayat sebelumnya. Adapun sebab turunnya ayat ini ada dua riwayat masing-masing dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abbas dan As-Sudi. Ibnu Jarir dan Ibnu Abbas menceritakan bahwa pada masa Rasulullah saw. ada seorang laki-laki yang mentalak istrinya. Kemudian sebelum masa idah istrinya itu habis dia merujuknya kembali. Setelah itu dijatuhkannya talak lagi kemudian merujuknya kembali. Hal ini dilaksanakan untuk menyakiti dan menganiaya istrinya tersebut, maka turunlah ayat di atas
As-Sudi menceritakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tindakan seorang sahabat dari golongan Ansar, yaitu Sabit bin Yasar yang telah mentalak istrinya. Setelah masa idah istrinya tinggal dua atau tiga hari lagi ia rujuk kepada istrinya tersebut, kemudian dijatuhkannya talak kembali dengan tujuan untuk menyusahkan istrinya itu. Maka turunlah ayat ini melarang perbuatan itu. 
Apabila seorang suami telah menjatuhkan talak kepada istrinya, maka ketika masa idah dari istrinya itu telah hampir berakhir hendaklah ia memilih salah satu dari dua pilihan yaitu melakukan rujuk atau tetap bercerai dengan cara yang baik. Karena dengan habisnya idah maka putuslah perkawinan suami istri. Hal mana berarti bekas istrinya itu bebas memilih jodoh yang lain. 
Selanjutnya ayat ini melarang seorang suami melakukan rujuk kepada istrinya dengan tujuan untuk menyakiti dan menganiaya. Larangan Allah ini selain menggambarkan tingkah laku masyarakat pada masa jahiliah di mana suami menjatuhkan talak kepada istrinya, tanpa batas tertentu dan setiap akan mendekati akhir dari masa idah suami melakukan rujuk kembali dan demikianlah seterusnya. Juga menjadi penjelasan dari tindakan sahabat Sabit bin Yasar yang telah diuraikan dalam hal sebab turunnya ayat ini. Suami yang berbuat demikian adalah menganiaya dirinya sendiri, suatu perbuatan yang dapat menimbulkan permusuhan dengan kaum kerabat keluarga istrinya dan juga dibenci oleh masyarakat, dan akhirnya nanti ia tidak luput dari kemurkaan Allah. 
Dalam ayat ini Allah melarang manusia mempermainkan hukum-hukum-Nya termasuk hukum-hukum yang mengatur hubungan suami istri untuk membawa manusia kepada hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Ketentuan-ketentuan itu merupakan suatu nikmat dari Allah yang wajib diingat dan diamalkan sebagai tanda bersyukur kepada-Nya. 
Tak ada perselisihan ulama dalam lingkungan mazhab empat tentang sahnya talak yang dijatuhkan oleh suami dengan jalan main-main (tidak sungguh-sungguh). 
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw: 

ثلاث جدهن جد و هزلهن جد : النكاح و الطلاق و الرجعة 
Artinya: 
Ada tiga masalah jika dilakukan dengan sungguh-sungguh jadinya sungguh-sungguh dan jika dilakukan dengan cara bermain-main maka jadinya sungguh-sungguh juga; yaitu nikah, talak dan rujuk. (HR Arba'ah kecuali An Nisa'i dari Abu Hurairah) 
Bersetubuh dengan istri yang masih dalam idah raj`i haram hukumnya menurut mazhab Syafii karena sahnya raj`i adalah dengan ucapan (lafal). Sedang menurut mazhab Hanafi dan Hambali, persetubuhan dianggap rujuk meskipun tanpa lafal dan ucapan.

TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 232
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/668-tafsir-depag-ri--qs-002-al-baqarah-232.html


وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ  

Ayat ini menjelaskan tentang wanita yang diceraikan oleh suaminya dan kemungkinan akan kawin lagi, baik dia akan kawin dengan bekas suaminya maupun dengan laki-laki lain. 
Dalam menanggapi ayat ini, para ulama fikih berselisih tentang siapa yang dimaksud oleh ayat tersebut, khususnya dalam kalimat "janganlah kamu menghalang-halangi." 
Imam Syafii berpendapat bahwa larangan itu ditujukan kepada wali, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang Qasim Ma'qil bin Yasir. Ma'qil mempunyai seorang saudara perempuan yang dinikahi oleh Abuibaddah. Kemudian ia dicerai oleh suaminya itu. Setelah selesai idahnya, Abibaddah merasa menyesal dan ingin kembali kepada bekas istrinya itu. Akan tetapi Ma'qil, sebagai wali, tidak menyetujuinya lagi sehingga peristiwa ini diketahui oleh Rasulullah saw. dan kemudian turunlah ayat di atas dan Ma'qil memperkenankan Abibaddah kembali kepada saudaranya. 
Dari riwayat yang merupakan sebab turunnya ayat ini, jelaslah bahwa larangan itu ditujukan kepada wali. Seandainya larangan dalam ayat itu tidak ditujukan kepada wali, niscaya perempuan itu dapat menikah sendiri dan tidak perlu tertunda oleh sikap Ma'qil tersebut sebagai walinya. 
Maka jelaslah bahwa akad nikah tetap dilangsungkan oleh wali. Imam Hanafi berpendapat sebaliknya larangan itu ditujukan bukan kepada wali akan tetapi kepada suami. Hal ini dapat terjadi bila bekas suami menghalangi bekas istrinya untuk kawin dengan orang lain. Jadi dengan demikian ayat tersebut menurut Hanafi tidak menunjukkan bahwa wali menjadi syarat syah akad pernikahan. Sebagai diketahui, Imam Hanafi berpendapat bahwa wanita sendiri dapat melakukan akad nikah tanpa melalui wali dengan berpegang kepada firman Allah swt.: 

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ 
Artinya: 
Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu telah dekat akhir masa idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf atau cerailah ia dengan cara yang makruf pula. (Q.S Al Baqarah: 231) 
Baik walinya ataupun bekas suaminya tidak boleh menghalang-halanginya sebagaimana adat yang berlaku pada zaman jahiliah di mana para wali terlalu mencampuri dengan cara sewenang-wenang soal perkawinan sehingga wanita tidak mempunyai kebebasan dalam memilih calon suaminya, bahkan mereka dipaksa menikahi dengan laki-laki yang tidak disukainya. Demikianlah ajaran Alquran mengenai hukum perkawinan ini, ajaran yang hanya dapat diterima oleh orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian karena hanya seorang yang berimanlah yang dapat menerima ajaran Allah dengan menyingkirkan keinginan hawa nafsu dalam mengekang kaum wanita. 
Kembali kepada ajaran Allah ini adalah suatu perbuatan yang suci dan terpuji, Allah Maha Mengetahui dan kamu tidak mengetahui. 

TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 233
http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/667-tafsir-depag-ri-qs-002-al-baqarah-233.html


وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ  

Setiap ibu (meskipun ia janda) berkewajiban menyusui anaknya sampai anak itu mencapai usia dua tahun. Tidak mengapa kalau dikurangi dari masa tersebut apabila kedua ibu bapak memandang ada maslahatnya. Demikian pula setiap bapak berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan para ibu baik dengan sandang maupun pangan menurut yang semestinya. 
Ibu laksana sebagai wadah bagi anak sedang bapak sebagai pemilik si wadah itu. Maka sudah sewajarnya bapak berkewajiban memberi nafkah kepada orang yang di bawah tanggung jawabnya dan memelihara serta merawat miliknya. 
Allah mewajibkan kepada ibu menyusui bayinya, guna membuktikan bahwa air susu si ibu mempunyai pengaruh yang besar kepada si anak. Dari hasil pemeriksaan para ahli medis menunjukkan bahwa air susu ibu tersusun dari saripati yang benar-benar murni. Juga air susu ibu merupakan makanan yang paling baik untuk bayi, dan tidak disangsikan lagi oleh para ahli gizi. Di samping ibu dengan fitrah kejadiannya memiliki rasa kasih sayang yang mendalam sehingga penyusuan langsung dari ibu ini berhubungan erat dengan perkembangan jiwa dan mental anak. Dengan demikian kurang tepat tindakan sementara para ibu yang tidak mau menyusui anaknya secara langsung hanya karena kepentingan pribadinya, umpamanya untuk memelihara kecantikan. Padahal hal ini bertentang dengan fitrahnya sendiri dan secara tidak langsung ia tidak membina dasar hubungan keibuan dengan anaknya sendiri dalam bidang mental. 
Demikianlah pembagian kewajiban kedua orang tua terhadap bayinya yang diatur oleh Allah swt. Sementara itu Allah memberikan pula keringanan terhadap kewajiban itu yaitu umpama kesehatan ibu terganggu atau seorang ahli mengatakan tidak baik bila disusukan oleh ibu karena sesuatu hal, maka tidak mengapa kalau anak mendapat susu atau makanan dari orang lain. 
Demikian juga apabila bapak tidak mempunyai kesanggupan melaksanakan kewajibannya karena miskin maka bolehlah ia melaksanakan sesanggupnya saja. Keringanan itu membuktikan bahwa anak tidak boleh dijadikan sebab adanya kemudaratan, baik terhadap bapak maupun terhadap ibu. Dengan pengertian kewajiban tersebut tidak mesti berlaku secara mutlak sehingga mengakibatkan kemudaratan bagi keduanya. Salah satu pihak tidak boleh memudaratkan pihak lain dengan menjadikan anak sebagai kambing hitamnya. Umpamanya karena ibu mengetahui bahwa bapak berkewajiban memberi nafkah maka ia melakukan pemerasan dengan tidak menyusui atau merawat si bayi tanpa sejumlah biaya yang tertentu. Atau bapak sangat kikir dalam memberikan nafkah sehingga ibu menderita karenanya. 
Selanjutnya andaikata salah seorang dan ibu atau bapak tidak memiliki kesanggupan untuk melaksanakan kewajiban atau meninggal dunia, maka kewajiban-kewajiban itu berpindah kepada ahli warisnya. 
Lamanya masa penyusuan dua tahun, namun demikian apabila berdasarkan musyawarah antara bapak dan ibu untuk kemaslahatan anak, mereka sepakat untuk menghentikannya sebelum sampai masa dua tahun atau meneruskannya lewat dari dua tahun maka hal ini boleh saja dilakukan. 
Demikian juga jika mereka mengambil seseorang wanita lain untuk menyusukan anaknya maka hal ini tidak mengapa dengan syarat, kepada wanita yang menyusukan itu diberikan imbalan jasa yang sesuai sehingga terjamin kemaslahatan baik bagi anak maupun wanita yang menyusui itu. 
Demikianlah Allah menjelaskan hukum-Nya kepada manusia terutama untuk pembinaan keluarga karena itu selalu manusia diingatkan agar bertakwa dengan menaati semua peraturan-Nya yang mengandung hikmah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan manusia selalu diingatkan bahwa Allah Maha Melihat apa-apa yang dikerjakan dan akan membalasnya dengan balasan yang setimpal. 
Ulama fikih berbeda pendapat tentang siapa yang berhak untuk menyusukan dan memelihara anak tersebut, jika terjadi perceraian antara suami-istri. 
Apakah pemeliharaan menjadi kewajiban ibu atau kewajiban bapak? Imam Malik berpendapat bahwa ibulah yang berkewajiban menyusukan anak tersebut walaupun ia tidak memiliki air susu; kalau ia masih memiliki harta maka anak itu disusukan pada orang lain dengan mempergunakan harta ibunya. Imam Syafii dalam hal ini berpendapat bahwa kewajiban tersebut kewajiban bapak. 

TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 234
 http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/666-tafsir-depag-ri-qs-002-al-baqarah-234.html
 

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ  

Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa wanita yang mati suaminya harus menahan diri (beridah) selama satu tahun. Juga walaupun ayat ini kelihatannya umum (mencakup semua wanita yang ditinggal mati oleh suaminya) namun ia mempunyai pengertian khusus yaitu yang tidak dalam keadaan mengandung. Sebab untuk wanita hamil, Allah telah memberikan hukum yang lain pada ayat yang lain. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam tafsir ayat 240. 
Idah perempuan yang mati suaminya empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu ia tidak boleh berhias-hias mempersiapkan diri menerima pinangan atau memberi janji untuk menerima pinangan. Demikian juga ia tidak boleh keluar rumah kecuali karena hal-hal yang dibolehkan oleh agama. Karena selain masa itu untuk mengetahui kebersihan rahimnya (hamil atau tidak hamil), juga digunakan sebagai masa berkabung. Manakala ia tidak hamil maka ia wajib berkabung menghormati tali hubungan suami istri baik terhadap mendiang suami maupun terhadap keluarga suaminya. Ia harus berkabung selama ia dalam idah. Setelah habis masa empat bulan sepuluh hari tersebut dibolehkan membuat segala sesuatu tentang dirinya menurut cara yang wajar, umpamanya menerima pinangan dan keluar rumah dan perbuatan lain yang tidak bertentangan dengan agama. 
Allah mengetahui segala apa yang dikerjakan oleh manusia. Ayat ini menegaskan bahwa mengenai masa berkabung ini Islam memberikan jalan sebaik-baiknya yang sesuai dengan kebutuhan manusia. Wanita-wanita pada masa jahiliah melakukan masa berkabung selama satu tahun penuh dan tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh memakan makanan yang enak dan tidak boleh pula memperlihatkan diri di muka umum. Bahkan pada sebahagian kelompok masyarakat kaum wanita yang menjalani masa berkabung ini harus melakukan hal-hal yang jauh lebih berat dari apa yang dilakukan oleh orang di masa jahiliah seperti terus-menerus menangis dan meratap. Tidak boleh mengurus dirinya dan lain sebagainya. Ada pula yang melakukan masa berkabung ini bukannya karena kematian suaminya saja karena kematian anak pun mereka berkabung secara demikian. Maka tepatlah apa yang diatur oleh Islam bahwa masa berkabung untuk wanita yang kematian suami tidak boleh lebih dari empat bulan sepuluh hari dan untuk kematian famili lainnya tidak boleh lebih dari tiga hari. 
Penyimpangan dari ketentuan ini harus dihindari karena Allah Maha Mengetahui segala apa yang dikerjakan oleh manusia. 

TAFSIR DEPAG RI : QS 002 - AL BAQARAH 235
 http://rumahislam.com/tafsir-depag-ri/157-qs-002-al-baqarah/665-tafsir-depag-ri-qs-002-al-baqarah-235.html

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ  

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa seorang laki-laki boleh mengucapkan kata-kata sindiran untuk meminang wanita yang masih berada dalam masa idahnya, baik idah karena kematian suami, maupun idah karena talak bain. Tetapi hal itu sama sekali tidak dibenarkan bila wanita itu berada dalam masa idah dari talak raj`i
Kata-kata yang menggambarkan bawah si lelaki itu mempunyai maksud untuk mengawininya bila telah selesai idahnya. Umpamanya si lelaki itu berkata, "Saya senang sekali bila mempunyai istri yang memiliki sifat-sifat seperti engkau." Atau ungkapan lainnya yang tidak mengarah pada berterus-terang. Sementara itu Allah melarang bila seorang laki-laki mengadakan janji akan kawin atau membujuknya untuk kawin secara sembunyi-sembunyi atau mengadakan pertemuan rahasia. Hal maa tidak dibenarkan karena dikhawatirkan terjadinya fitnah.
Allah tidak melarang seorang laki-laki meminang perempuan yang masih dalam masa idah talak bain, jika pinangan itu dilakukan secara sindiran, atau masih dalam rencana karena Allah mengetahui bahwa manusia tidak selalu dapat menyembunyikan isi hatinya. Allah menghendaki pinangan tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan tetapi hendaknya dengan kata-kata kiasan yang merupakan pendahuluan, dilanjutkan nanti dalam bentuk pinangan resmi ketika perempuan tersebut telah habis idahnya. Pinangan dengan sindrian itu tidak boleh dilakukan terhadap perempuan yang masih dalam idah talak raj`i karena masih ada kemungkinan perempuan itu akan kembali kepada suaminya semula. 
Cara seperti itu dikehendaki supaya perasaan wanita yang sedang berkabung itu tidak tersinggung juga untuk menghindarkan reaksi jelek dari keluarga bekas suami dan dari masyarakat umum. Karenanya Allah melarang melangsungkan akad nikah dengan wanita yang masih dalam idah. Suatu larangan yang haramnya adalah haram qath`i dan membatalkan akad nikah tersebut. Allah mengancam orang-orang yang menentang ketentuan ini dan Allah Maha Mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati sanubari manusia. Namun demikian Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang kepada orang-orang yang segera bertobat. 



 Kembali ke Daftar Surah                                     Kembali ke Daftar Surah 

1 komentar: